REVOLUSI MENTAL DAN REALITAS DEMOKRASI POLITIK DI INDONESIA
Hikmah Politik

Diposting oleh Zaid, ST 05 Agu 2020, 13:17:26 WIB Opini
REVOLUSI MENTAL  DAN REALITAS DEMOKRASI POLITIK  DI INDONESIA

Sebentar lagi masyarakat kita di sebagian wilayah / daerah di tanah air akan melaksanakan persta demokrasi pemilihan kepala daerah serentak. Seluruh konstestan parpol akan tampil dalam panggung politik untuk menunjukkan kesiapan masing-masing partai politik dengan calon pilihannya. Pesta demokrasi bukan sesuatu yang baru , karena sudah menjadi agenda demokrasi yang dilaksanakan dalam setiap pemilihan jabatan politik. Mengingat jabatan politik merupakan jabatan strategis, dalam upaya mewujudkan fungsi-fungsi pembangunan, tentu semua partai politik akan tampil dengan segenap kemampuan untuk mengambil hati dan simpati rakyat untuk mendapatkan dukungan. Untuk itu jika kita jujur untuk belajar dari pengalaman masa lalu, yang mana setiap pesta demokrasi dilaksanakan selalu saja menyisihkan panorama politik yang tidak santun dan ada saja yang tidak menyenangkan. Untuk itu, tentu saja kita tidak ingin pesta demokrasi tahun ini dilaksanakan seperti itu lagi, apalagi tanpa menjunjung tinggi moralitas demokrasi dan etika politik yang kita bangun selama ini. Tegasnya dalam berdemokrasi kita tidak ingin terjadi adanya ketidak adilan, kecurangan dan pelanggaran etika politik ataupun norma-norma keadilan lainnya yang selama ini kita junjung tinggi.

Sejak dicanangkan Gerakan Revolusi Mental oleh Presiden RI , Joko Widodo dalam aksi pembangunan nasional tanggal 6 Desember 2016 sebagaimana yang tertuang dalam Instruksi Presiden ( Inpres ) No. 12 tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental, maka hingga hari ini bangsa Indonesia terus berbenah membangun mental bangsa Indonesia supaya dapat memperkokoh budaya bangsa yang lebih bermartabat, modern, maju, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Gerakan ini utamanya adalah untuk memperkuat nilai-nilai integritas, etos kerja, dan gotong royong. Melalui gerakan revolusi mental pemerintah bertekad membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat secara politik, berdiri di kaki sendiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Namun apa yang kita saksikan beberapa bulan terakhir, dalam pemberitaan berbagai media di tanah air akhir-akhir ini , bahwa dengan menguatnya komoditas politik dan melemahnya pondasi ekonomi nasional akibat pandemic Covid-19 , wajah kehidupan demokrasi politik di negeri ini terasa semakin merosot tajam seakan-akan kurangnya memegang teguh nilai-nilai moralitas demokrasi. Padahal pencitraan kehidupan berbangsa, sangat ditentukan oleh sikap moral segenab bangsa itu tanpa kecuali. Lalu pertanyaannya adalah , apakah gerakan revolusi mental yang dicanagkan pemerintah gagal dalam praktek kehidupan perpolitikan di negeri ini ? Atau apakah semangat dan moralitas bangsa sudah mulai redup dan bahkan hilang di hati ibu pertiwi ini ? Jawabannya tentu tidak sederhana. Paling tidak kita membutuhkan waktu dan kesiapan mental untuk menjawabnya. Pertanyaan demikian timbul di kalanagan masyarakat ,adalah akibat praktek demokrasi politik dan penegakan hukum seakan-akan belum berdaya membangun etika demokrasi di negeri yang kita cintai ini. Ditambah lagi dengan melemahnya mental para penegak hukum yang seharusnya siap memberikan keadilan hukum terhadap masyarakat.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa merosotnya etika demokrasi politik dan penegakan hukum yang telah menjadi konsumsi public secara jelas dipertontonkan di tengah masyarakat. Akibatnya krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan para penegak hukum terus merambah. Kebijakan pemerintah selalu saja disanggah, karena merasa belum menemukan kepastian dan kebijaksanaan hukum yang adil dan merata. Sehingga banyak kalangan mengkhawatirkan bahwa yang terjadi sa’at ini adalah merebaknya nihilisme moralitas politik dan bahkan praktek maney politics ( mudah-mudahan anggapan ini tidak benar ), sehingga penegakan hukum sulit untuk di ciptakan , mana yang fakta dan mana yang fiktif sulit dibedakan dan kebenaranpun dapat di putar balikkan. Hukum yang sedianya berfungsi untuk menjaga keadilan dan melindungi masyarakat agar tidak dizalimi dan tidak menzalimi orang lain, kadangkala dipermainkan dengan otoritas dan jabatan yang dimiliki, untuk membenarkan yang salah semata karena kepentingannya terganggu.

Dan yang paing menyedihkan, apa yang disebut oleh Dr. Komaruddin Hidayat. MA sebagai defsit moral politik. Hal ini juga bisa melanda lingkungan parpol yang merupakan tulang punggung dan actor demokrasi serta pemasok politikus dan pejabat negara. Apabila hal ini benar-benar terjadi, maka tidak ada jalan lain, kita harus bangkit dan berani membangun kembali moralitas politik bangsa ini dengan melakukan reorientasi pemaknaan politik kearah yang lebih tepat dan bijak. Sebenarnya momen itu di era reformasi ini sangat mendukung untuk dilakukan. Kita harus berani melakukan de-konstruksi dan re-konstruksi secara menyeluruh terhadap semua bentuk penyimpangan moral yang pernah dilakukan , yang nyata-nyata membawa bangsa ini berada dalam kebangkrutan mental yang menyakitkan.

Nah, dari realitas demokrasi politik dan kebijakan hukum seperti ini , praktek revolusi mental seakan-akan gagal dilaksanakan , padahal seharusnya praktek revolusi mental menjadi rule model bagi pelaku politisi dan penegak hukum dalam demokrasi perpolitikan di negeri ini. Revolusi Mental sejatinya dilakukan dalam bentuk perilaku dan sikap nyata dengan menjunjung tinggi moralitas dan kepribadian bangsa. Namun hal itu belum dapat tumbuh subur dalam tatanan berdemokrasi sa’at ini. Padahal presiden Jokowi dan seluruh rakyat Indonesia telah berkomitmen untuk menjadikan gerakan revolusi mental menjadi gerakan social, karena pelaku revolusi mental itu tidak lain adalah seluruh rakyat Indonesia. Dan yang tak kalah pentingnya dalam tekat gerakan ini, bahwa para pemimpin dan aparat negara akan jadi pelopor untuk menggerakkan revolusi mental yang di canangkan itu. Komitmen revolusi mental tersebut sudah saatnya harus dipertegas dan dibangun kembali, karenan mengingat persaingan antar bangsa tidak lagi mengandalkan seberapa kaya sumber daya alam sebuah negara, melainkan mencakup apa yang sering disebut sebagai intelectual capital, moral capital, dan social capital.

Bangsa ini sangat kaya dengan asset budaya dan pengalaman panjang meraih kemerdekaan. Bahkan, juga berhasil melakukan jihad politik menjaga plurarisme agama, bahasa dan budaya . Namun lagi-lagi, semua itu belum dikapitalisasi secara optimal bagi kemajuan dan kemakmuran warganya. Padahal sudah lama kita merindukan dan melihat bangsa ini berdiri tegak dengan percaya diri, bermartabat dan disegani dalam pergaulan dunia.

Berlakunya hukum dalam suatu negara sangat ditentukan oleh kebijakan politik hukum negara yang bersangkutan, disamping kesadaran hukum masyarakat di negara itu. Dalam ketetapam MPR Nomor : IV/MPR/1973 dinyatakan bahwa politik hukum Indonesia dirumuskan antara lain : Pembangunan di bidang hukum dalam negara hukum Indonesia adalah berdasarkan atas landasan sumber tertip hukum yaitu cita-cita yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia yang di dapat dalam pancasila dan UUD 1945 ( CTS. Cansil : 1989 ).

Oleh sebab itu untuk membangun politik hukum di Indonsia sekurang-kurangnya ada tiga hal yang harus diperhatikan dan dipertegas kembali , yang mana tiga hal tersebut sekaligus sebagai landasan filosofis untuk pembinaan hukum itu sendiri yaitu : Pertama : Kepala pemerintahan dan DPR dibebani tugas modernisasi, kodifikasi dan unifikasi dalam bidang-bidang tertentu, Kedua ; dalam bidang Institusional di kehendaki adanya penertiban fungsi lembaga-lembaga hukum, menetapkan dan mengatur wewenang masing-masing aparat penegak hukum seperti polisi , jaksa dan hakim serta pembela atau advokat, agar tak terdapat kesimpang siuran. Ketiga ; Dalam bidang keterampilan perlu diadakan peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum. Untuk itu perlu peningkatan mutu pendidikan hukum atau wawasan hukum dalam bidang pengetahuan hukum , serta pembinaan mental bagi penegak hukum untuk menciptakan kewibawaan mereka sendiri.

Penegak hukum adalah mereka yang melayani , melindungi dan membina hukum di negeri Indonesia yang kita cintai ini. Dalam tugas dan fungsinya para penegak hukum itu berkewajiban untuk, a. meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia Aparatur Sipil Negara (ASN); b. peningkatan penegakan disiplin Aparatur Pemerintah dan Penegak Hukum; c. peningkatan standar layanan dan sistem layanan inovatif (e-government); d. peningkatan sistem manajemen berbasis kinerja ASN; e. peningkatan perilaku pelayanan publik yang cepat, transparan, akuntabel, dan responsif; f. perbaikan hukum dan peraturan (deregulasi); g. penyederhanaan layanan birokrasi; h. peningkatan penyediaan fasilitas dan infrastruktur yang mendukung layanan public serta peningkatan penegakan hukum dan peraturan dalam layanan publik; dan j. Implementasi sistem penghargaan dan sanksi bersama dengan para pemimpin teladan. ( https://setkab.go.id/en/president-jokowi : 2020 ).

Dengan demikian , melalui semangat revolusi mental, demokrasi politik dan kebijakan politik hukum di Indonesia tidak semestinya mengalami cacat moral apalagi terjadinya pelanggaran hukum bagi penegak hukum itu sendiri. Akhirnya tentu saja kita semua berharap , gerakan revolusi mental yang sudah di canangkan pemerintah setidaknya dapat menjawab persoalan moralitas politik dan kebijakan politik hukum di negeri ini dimasa datang, dan selanjutnya para penegak hukum dan seluruh komponen bangsa secara bersama-sama dapat menjunjung tinggi moralitas demokrasi dan keperibadian bangsa ini, demi tegaknya demokrasi politik yang jujur dan santun, penegakan hukum yang berkeadilan dan adil dalam kebijaksanaan. Amin.[]