FIQIH TOLERANSI
Menyambut Tahun Toleransi 2022

Diposting oleh Zaid, ST 17 Des 2021, 14:50:34 WIB Opini
FIQIH TOLERANSI

Artikel ini terinspirasi dengan peringatan hari Toleransi Internasional yang di peringati hari senin tanggal 16 November 2021 bulan lalu. Pada peringatan tersebut Menteri Agama RI ( Yaqut Cholil Qoumas ) sekaligus mencanangkan bahwa tahun 2022 adalah tahun Toleransi di Indinesia. Pencanangan tersebut menunjukkan bukti bahwa Indonesia adalah bangsa yang mencintai kebersamaan dan menghargai kebebasan dalam memeluk agama dan berkeyakinan. Toleransi beragama merupakan sikap beragama yang harus diperhatikan secara serius oleh negara demi menghindari terjadinya kekerasan atas nama agama. Kebebasan beragama telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Pada awalnya peringatan hari toleransi dideklarasikan oleh UNESCO pada tahun 1995 bertepatan dengan ulang tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ke-50 tahun. Pada 16 November 1995, Negara Anggota UNESCO mengadopsi Deklarasi Prinsip Toleransi. Antara lain, deklarasi tersebut menegaskan bahwa toleransi adalah penghormatan dan penghargaan terhadap keragaman budaya dunia, bentuk ekspresi, dan cara kita menjadi manusia. Toleransi mengakui hak asasi manusia universal dan kebebasan fundamental orang lain. Orang secara alami beragam; hanya toleransi yang dapat menjamin kelangsungan hidup komunitas campuran di setiap wilayah di dunia ( Dhita Koesno : 2020 ).

Akhir-akhir ini merebaknya isu-isu pelangaran toleransi beragama sehingga melemahnya bangunan kerukunan yang selama ini di bangun dengan kokoh. Toleransi seakan-akan belum cukup kuat untuk dijadikan landasan dalam perwujudan keharmonisan ditengah kehidupan umat beragama. Untuk itu toleransi setengah hati ( lazy tolerance ) yang masih di rasakan dalam hubungan social keagamaan perlu terus diperkuat sehingga menjadi toleransi yang sejati dalam bingkai paradigma nasional demi terwujudnya cita-cita nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Motto Bhinneka Tunggal Ika harus terus diejawantahkan ke sanubari semua umat beragama sehingga menjadi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

 

Kesadaran ke-Bhinnekaan harus terwujud dalam cara pandang ( outlook), sikap ( attitude), dan tata laku ( conduct ), untuk menerima keragaman, menghargai keragaman dan saling berbagi. Untuk itu membangun norma kebersamaan ( norms of togetherness ) dalam realitas keragaman harus menjadi landasan utama bagi terbangunnya kerukunan social yang permanen sebagai landasan bagi stabilitas nasional yang mantap.

Sebagai negara yang terdiri dari berbagai ras, suku, bahasa, budaya dan agama, Indonesia seharusnya mampu mengayomi perbedaan-perbedaan paham, utamanya paham agama dalam masyarakat. Karena itu kebebasan dalam memeluk agama dan berkeyakinan merupakan salah satu bagian penting diperhatikan dalam kehidupan bernegara demi menghindari terjadinya kekerasan atas nama agama. Kondisi ini dapat terjadi akibat sebagian umat beragama memahami agamanya secara sempit dan subyektif dengan berbagai perbedaan sudut pandang. Umpamanya dalam agama Islam. Timbulnya perbedaan pendapat dimulai dari perbedaan cara penggunaan metode istinbâth hukum dalam memahami teks universal yang terdapat al-Quran maupun al-Sunnah. Begitupun dalam agama lain yang sering menterjemahkan kitab sucinya secara parsial dan an-hermeneun ( menafsirkan salah ). Akibatnya terjadi pemahaman dan aliran mazhab keagamaan yang menyimpang dan kontropersial yang bertentangan dengan dasar normative agama itu sendiri. Dari sinilah munculnya sikap dan perilaku yang mengancam kerukunan berbangsa dan beragamadi tengah masyarakat. Untuk menjawab tantangan dan persoalan demikian penulis menawarkan alternatif dalam persfektif Fiqih Toleransi.

Dalam bahasa arab kata toleransi ( kamus Al-munawir ) disebut dengan istilah “tasamuh” yang berarti sikap membiarkan atau lapang dada. Badawi ( 1987 ) mengatakan, tasamuh (toleransi) adalah pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beraneka ragam meskipun tidak sependapat dengannya. Menerima pandangan orang lain bukan berarti meyakini pandangan tersebut, tetapi hanyalah mendialogkan pemahaman yang berbeda. Dalam beragama, meyakini sesuatu merupakan sikap apsolut tentang pengakuan secara mutlak terhadap eksistensi ketuhanan. Sementara fiqih merupakan pemahaman terhadap hukum-hukum agama ( baca : Islam ).

Dengan demikian Fiqih Toleransi yang kita maksudkan dalam artikel ini adalah pemahaman atau pola pikir dialogis yang memiliki orientasi ke depan dengan menyepakati perbedaan. Pola pikir dialogis tersebut merupakan tuntutan demokratisasi logis untuk merasakan semakin tranparansinya kriteria nilai dalam menentukan sebuah keputusan. Memang istilah fiqih selalu di kaitkan dengan diskursus pemikiran yang berarti pemahaman dalam ajaran islam. Sehingga setiap upaya memahami ajaran islam dalam bidang apa saja itu semua termasuk dalam katagori fiqih. Berbeda dengan cara pandang lama bahwa fiqih hanya dipahami sebagai hukum islam belaka.

Oleh sebab itu, bila umat beragama ingin baik dalam berbangsa maka bukan ulama hukum saja yang harus tampil menjelaskan persoalan keummatan melainkan juga membutuhkan ulama filsafat, politik, psikologi, tehnologi, sosiologi, antropologi, serta ulama lainnya yang mampu membacakan dan mengembangkan secara kreatif dan inovatif ayat-ayat Allah baik yang normative maupun formatif. Dengan demikian kita membutuhkan lahirnya fiqih-fiqih baru selain fiqih yang berorientasi hukum belaka seperti yang dominan selama ini. Salah satu yang urgen adalah fiqih Toleransi. Bagaimana cara pandang fiqih toleransi tersebut dapat kita uraikan sebagai berikut :

Pertama : Sepakat dengan pemahaman kemajemukan (understanding of plurality ) dalam ayat ( tanda ) sebagai nikmat Allah swt. Kemajemukan diciptakan bertujuan untuk saling mengenal antar sesama manusia, saling menolong, saling berkompetisi dalam kebaikan. Menurut Rasyid Ridha ( 1987 ) , mengatakan ,” Dalam penciptaan seluruh umat manusia dari satu jiwa terdapat sejumlah tanda yang sangat jelas tentang kuasa, pengetahuan, hikmah dan ke-Esaan Allah swt. Eksistensi keragaman manusia di dalam aneka bangsa dan suku tidak untuk memunculkan permusuhan dan peperangan ( Al-Maududi “ 1977 ). Sebagaimana Firman Allah swt, Qs. Al-Maidah : 2 ), yang artinya ; Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.( Qs.Al-Maidah : 2 ).

Begitupun dalam surat Al-Hujurat ayat yang ke 13 Allah Swt. Berfirman yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang ( Qs. Al-Hujurat : 13 ).

Dalam kitab Al-Muntakhab disebutkan, setiap umat memiliki kiblat yang menjadi arah tujuannya dalam ibadah / sholat menurut ketentuan syariatnya yang terdahulu. Akan tetapi dalam perbedaan kiblat itu tidak ada yang lebih unggul. Keunggulan dan keutamaan hanya lahir dari ketaqwaa, ketaatan dan perbuatan baik . ( Al-Kasani : 1958 ). Ketaqwaan dan keta’atan adalah pembeda derajat manusia disisi Tuhannya. Sebab itu umat yang taat dan bertaqwa adalah umat memegang teguh toleransi. Disini kebersamaan sebagai makhluk manusia terjalin dengan kuat ( hablim minannas ) dan ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah swt terjaga dengan baik ( hablumminallah ).

Kebersamaan dalam perbedaan adalah nikmat di sisi Allah swt. Tanpa perbedaan manusia akan mengalami kegersangan dan kelesuan. Justru perbedaan membuat hidup manusia dinamis dan agresif dalam menuju tujuan kehidupan.

Kedua : Demokrasi menyikapi tantangan agama (democratic attitude ). Secara etimologis demokrasi berarti pemerintahan (demos) dan rakyat (kratos) yaitu pemerintahan rakyat, yaitu menyangkut seluruh aspek, politik, gender, agama, ras hak sosial dan lain sebagainya. Jadi demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang memberikan kontribusi besar bagi kemajuan suatu negara terutama dalam sistem pemerintahan, karena prinsip demokrasi sendiri lebih menekankan kepada memberikan kebebasan kepada setiap anggotanya untuk mengeluarkan pendapat dalam mengambil sebuah keputusan dalam memecahkan suatu permasalahan (Taranggono : 2002 ).

Tantangan agama yang dihadapi sangat komplek dan rumit. Di dalamnya terdapat unsur perbedaan yang tak akan pernah hilang. Ditambahlagi mobilisasi social membuat masyarakat semakin majemuk dan plural. Hal ini menyebabkan tantangan umat beragama semakin besar. Diantara tantangan beragama itu adalah pemahamaan dan pengamalan keagamaan yang berlebihan, melampaui batas, dan ekstrem, sehingga malah bertolak belakang dengan esensi ajaran agama itu sendiri. Substansi esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia. Pemahaman keagamaan disebut berlebihan dan ekstrem, jika justru mengingkari nilai kemanusiaan dengan mengatasnamakan agama. Tantangan yang lain adalah pemahaman yang justru merongrong atau mengancam, bahkan merusak ikatan kebangsaaan dan bahkan mengajarkan bahwa nasionalisme tidak penting karena tidak diajarkan agama.

Menghadapi tantangan demikian sikap demokrasi adalah solusi yang sangat tepat. Sikap ini telah diajarkan Islam 14 abat yang lalu. Sikap demokrasi merupakan sikap bersama dalam menetapkan keputusan yang adil dan seimbang. Penetapan keputusan ini dalam konstitusi negara disebut dengan Dewan Permusyawaratan atau dalam Islam disebut dengan Ahlul Ikhtiyar.

Sikap demokrasi adalah sikap kemanusiaan universal diantaranya adalah sikap lemah lembut / gentle. Hal ini sejalan dengan QS. Al-Imran: 159 yang artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Oleh sebab itu isu utama yang menjadi muatan demokrasi adalah persoalan saling menghargai eksistensi (keberadaan). Rasa ingin dihargai adalah kebutuhan alamiah (fitrah) manusia.

Ketiga : Pemahaman kebangsaan yang utuh. Pemahaman kebangsaan adalah pemahaman terhadap kehidupan berbangsa berdasar semangat ke-Bhinnekaan. Pemahaman ini merupakan kekuatan besar yang tangguh dalam membangun ikatan batin bangsa sebagaimana yang diungkapkan Bung Karno dengan ucapannya “ samen bundelling van alle krach-ten van de natie” Pengikatan bersama seluruh kekuatan bangsa”.

Dalam kehidupan berbangsa dan beregara diperlukan internalisasi dan implementasi nilai-nilai kebangsaan. Di Indonesia nilai tersebut tersimpul dalam dasar negara yaitu Pancasila . Tujuannya adalah agar warga negara hidup berintegritas dan berkarakter bangsa yang baik. Kekuatan bangsa ada dalam nilai Pancasila secara utuh yang di implementasikan dalam kehidupan masyarakat yang menyatu padu dengan ikatan batin seluruh warga bangsa Indonesia. Ikatan batin bangsa tidak boleh bercerai-berai. Ia harus dipatri dengan komitmen yang tinggi. Komitmen berbangsa mesti diperteguh kembali. Peneguhan kembali komitmen tersebut merupakan tekad bangsa Indonesia sebagai elan vital dalam menuju cita-cita luhur bersama.

Dari tiga cara pandang dan pemahaman diatas, maka di harapkan kehidupan beragama merupakan kehidupan berbangsa dan kehidupan berbangsa merupakan kehidupan beragama. Dengan demikian fiqih Toleransi merupakan cara pandang dan pemahaman yang strategis dalam menghadapi tantangan hidup berbangsa dan beragama di era global yang semakin plural. Akhirnya kita berharap bangsa Indonesia dapat memperkuat dan mempertahankan eksistensi kehidupan beragama dalam berbangsa dan eksistensi berbangsa dalam beragama. Yang mana hal itu akan lebih baik dan kokoh melalui cara pandang holistic dengan fiqih toleransi. Allahu a’lam bissawab.[]