SPIRITUAL INTEGRITY BAGI MANUSIA MODERN

Diposting oleh Zaid, ST 02 Feb 2022, 09:44:22 WIB Opini
SPIRITUAL INTEGRITY   BAGI MANUSIA MODERN

Ketika membaca buku-buku karya filsuf modern, saya menemukan buku yang sangat menarik yaitu The Corrupted Sciance, Challenging the Myths of Modern Sciance ( Sciance yang Rusak, Menantang Mitos Sciance Modern ) yang ditulis oleh Arnold filsuf berkebangsaan Austria yang lahir tahun 1947. Dalam buku itu ia berpendapat bahwa agama yang cocok untuk dunia modern adalah keberagamaan kaum sufi karena dinilai sangat humanis, inklusif dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip antropis dan hukum alam. Dengan kata lain agama yang di tawarkan Arnold untuk manusia modern saat ini adalah agama yang memperjuangkan prinsif-prinsif antropik-spiritualisme. Pandangan ini menurut Prof. Dr. Komaruddin Hidayat : 1998, adalah sejalan dengan mazhab filsafat agama yang menempatkan manusia sebagai subyek sentral dalam jagat raya, tetapi inheren dalam kemanusiaannya tumbuh kesadaran spiritual yang senantiasa berorientasi kepada Allah swt.

Memang hidup di abat modern ( akhir zaman ) penuh dengan berbagai orientasi dan persepsi yang ambigu. Orientasi dan persepsi kehidupan tersebut menyebabkan manusia dalam kebingungan. Hal ini juga merambah masuk masuk dalam tata kahidupan beragama. Apalagi ketika memuncaknya prestasi Ilmu pengetahuan dan tehnologi, terkadang orientasi dan persepsi membingkai keyakinan beragama dengan pandangan dan keyakinan yang salah kaprah, sehingga keyakinan beragama hanya diletakkan dalam idealisme keilmuan yang tidak menghunjam dalam realitas sosial. Padahal sejatinya agama membutuhkan aktualitas konkrit. Nah dalam artikel ini penulis mencoba membingkai keyakinan beragama dalam bingkai spiritual integrity, sehingga peran agama lebih kuat sebagai petunjuk jalan kehidupan manusia modern.

Istilah integrity atau sering disebut Integritas dalam tatanan kehidupan modern tidaklah asing dalam masyarakat. Bahkan sudah menjadi model dalam indicator moral berbangsa dan beragama. Apalagi integritas telah menjadi prasyarat dalam etika birokrasi. Sehingga setiap badan Instansi pemerintah diminta komitmen dan tanggung jawabnya dalam melaksanakan pembangunan nasional dengan menanda tangani pakta integritas.

Integritas berasal dari bahasa latin integer, incorruptibility, firm adherence to a code of especially moral or artistic values, yaitu sikap yang teguh mempertahankan prinsip, tidak mau korupsi, dan menjadi dasar yang melekat pada diri sendiri sebagai nilai-nilai moral ( Toto Tasmara : 2006 ). Integritas bukan hanya sekedar bicara, pemanis retorika, tetapi juga tindakan. Bila kita menelusuri karakter yang dibutuhkan manusia modern saat ini, maka integritas adalah karakter yang harus dipatri kembali pada diri setiap orang, apalagi bagi seseorang yang diberikan amanah untuk melaksanakan tugas penyelenggara Negara atau pemimpin dalam masyarakat. Umpama saja di Indonesia. Penyelenggaraan negara di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan tugas yang diamanatkan oleh pendiri negara. Tugas negara sangat terperinci dan bersifat fleksibel sehingga tidak mudah ketinggalan zaman. Adapun tugas negara yang kita maksud adalah sebagaimana tertuang dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdarkan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social (Jimly Asshiddiqie dalam Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat : 2002 ).

Tugas negara sebagaimana disebut di atas adalah pemerintah yang pada hakekatnya adalah pelayan bagi masyarakat. Pemerintah tidak diadakan untuk melayani kepentingan dirinya sendiri, akan tetapi untuk melayani masyarakat dan menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya untuk mencapai tujuan bersama. Tugas Negara adalah amanah bagi penyelengara Negara. Sebab itu membutuhkan kepribadian yang ber-integritas tinggi, agar amanah dapat diselenggarakan dengan baik. Dengan integritas penyelenggara Negara setidaknya dapat mengendalikan diri dari perilaku korupsi yang akhir-akhir ini menjadi musuh Negara yang sangat mengkhawatirkan. Nah itu jika integritas bagi penyelenggara Negara. Lalu bagaimana integritas dalam kaitannya dengan kepribadian setiap orang.

Integritas tidak bisa berdiri sendiri. Ia memerlukan perekat dalam bentuk nilai keyakinan. Nilai keyakinan itu ada dalam agama. Disinilah urgensinya nilai dan spirit agama sebagai merekat integritas dalam kepribadian seseorang. Sebagaimana Sang Rasul Muhammad saw, beliau adalah contoh kepribadian yang memiliki pesona luarbiasa, yang dengan integritas, dedikasi, serta mampu mengangkat masyarakat yang dalam kegelapan menuju cahaya. Karena ke-Rahmanan Allah swt yang universal, siapapun yang memakai jubbah akhlaq ( integritas ) beliau secara konsekuen, pastilah memperoleh kemuliaan.

Bila kita menelusuri karakter yang dibutuhkan manusia modern hari ini dan selamanya, mulai dari integritas, kredibilitas, resposibilitas, dan segudang karakter mulia lainnya pastilah akan bermuara pada peribadi agung manusia pilihan al-Musthafa Muhammad SAW, yang memang diutus untuk menyempurnakan karakter manusia.

Integritas adalah satu kata dengan perbuatan. Integritas hanya tumbuh dari peribadi-peribadi cemerlang yang memiliki harga diri. Tanpa harga diri, manusia bukanlah seorang manusia dalam pengertian spiritual. Dia hanyalah binatang cerdas yang pandai memainkan perannya sebagai manusia. Sebagaimana yang disebutkan oleh George Sheehan bahwa manusia tanpa harga diri hanyalah sebagai makhluk yang berperan menjadi binatang yang baik (fisik), ahli pertukangan yang baik (mental), teman yang baik (sosial), dan orang suci (spiritual). Oleh sebab itu dengan integritas diri manusia menjadi makhluk mulia yang memilki kesatuan yang mencakup empat nilai, yaitu perspektif (spiritual), otonomi (mental), keterkaitan sosial, dan tonus (fisik ) (Antonius, 2002:135-136).

Dalam diri manusia terdapat dimensi ruh, spirit jiwa dan banyak sebutan lainnya yang menyebabkan manusia menjadi makhluk sempurna. Dimensi tersebut merupakan bagian “dalam? dari manusia yang hakikatnya adalah aspek kejiwaan, unsur-unsur kerohanian, dan hal yang berkaitan dengan mental spiritual dan unsur batiniah lainnya. Sekarang dimensi mental kejiwaan itu sudah diperinci ke dalam beberapa unsur yang dapat diterangkan satu per satu, namun tetap merupakan suatu kesatuan yang saling melengkapi. Unsur tersebut tampil dalam bentuk kecerdasan, dengan rincian: kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Orang yang memiliki integritas diri adalah orang yang memiliki perkembangan baik dan seimbang dari semua unsur-unsur kejiwaan/mental tersebut.

Kecerdasan spiritual (SQ) dapat dipahami sebagai kekuatan intuisi yang tajam untuk melihat kebenaran paling dalam yang melintasi kemampuan intelektual. Kecerdasan itu kemudian masuk ke kesadaran dan akhirnya masuk ke penghayatan hidup yang akan membuat orang hidup lebih toleran, terbuka dan jujur, berlaku adil dan penuh cinta. Dari kecerdasan bergerak menuju ke kearifan dan meraih kebahagiaan spiritual, spiritual happiness ( Sukidi, 2002:137).

Integritas merupakan sikap mental kejiwaan yang selalu konsisten dalam menjalankan amanah kehidupannya. Dia hidup konsisten dengan nilai baik dan benar ( nilai agama ) yang diyakininya. Keyakinan itu bukan hanya bersifat buta, melainkan nilai yang masuk akal dan dapat diterima oleh banyak orang. Nilai kebenaran yang yang dianutnya berasal dari petunjuk agamanya. Dengan demikian manusia yang berintegritas adalah manusia yang mampu mendidik ruhaninya dengan menyerahkan dan mengikatkan dirinya dengan mengikuti petunjuk Allah swt, sehingga ruhaninya yang paling dalam menjadi potensi pengendali dan control perilaku dalam langkah hidupnya. Menurut Dr. M.Reza Arfiansyah hal itu desebut sebagai Human REALsource ( HRs ) atau Sumber Daya Riel Manusia. Lebih lanjut reza Arfiansyah, menyebutkan bahwa ruhani adalah HRs yang menjadi sumber daya manusia yang berfungsi sebagai pengendali sifat-sifat manusia yang negatif ( Dr.M.Reza Arfiansyah : 2020 ).

Pendidikan ruhani merupakan langkah mewujudkan manusia yang berintegritas. Mendidik ruhani merupakan hak absolut Yang Maha Kuasa, sebab itu Tuhanlah yang mengerti tentang eksistensi ruh manusia. Sebagaimana yang dinyatakan dalam QS 17 : 85 yang artinya : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ruh. Katakanlah Ruh itu termasuk urusan Tuhan—ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. ( Qs.17:85 ).

Dengan demikian agar ruhani dapat terdidik oleh Allah swt, maka manusia senantiasa diperintahkan untuk mengingat Allah swt melalui suara hati ( voice of the heart ) sehingga manusia selalu mendapatkan hidayah dan petunjuk-Nya berupa inspirasi dan bimbingan dalam segala tidakan dan perilakunya. Inilah hakikatnya spiritual integrity yang kita maksudkan dalam artikel ini.

Spiritual Integrity merupakan perilaku manusia yang selalu dibimbing dan ditunjuki oleh Allah swt kepada jalan yang benar dan lurus baik fikiran, tindakan ataupun perilaku dalam kehidupannya. Dari sinilah munculnya kesadaran diri manusia bahwa ia adalah makhluk Allah swt yang diciptakan dengan tujuan mulia. Apabila kesadaran ini tercapai maka manusia akan memiliki spiritual integrity dengan ciri sebagai berikut : Pertama, ia memiliki kemampuan hidup sosial yang semakin baik, memiliki kekayaan rohani yang semakin mendalam, dan memiliki mental yang kuat dan sehat. Kedua, kadar konflik dirinya rendah. Ia tidak berperang melawan dirinya sendiri (pribadinya menyatu). Dengan demikian, dia memiliki lebih banyak energi untuk tujuan produktif. Ketiga, memiliki kemampuan dalam menata batin sampai mencapai tahap kebebasan batin dalam arti tidak mudah diombang-ambing oleh gejolak emosi dan perasaan sendiri. Keempat, semakin memiliki cinta yang personal/kedekatan hidup pada Allah swt sehingga mampu menanggung risiko dan konsekuensi dari pilihan hidup religiusnya. Kelima, tidak mudah binggung tentang mana yang benar atau salah, baik atau buruk, demikian pula persepsinya tentang tingkah laku yang benar tidak mengalami banyak keraguan. Keenam, memiliki kemampuan melihat hidup secara jernih, melihat hidup apa adanya, dan bukan menurut keinginannya. Seseorang tidak lagi bersikap emosional, melainkan bersikap lebih objektif terhadap hasil pengamatannya. Ketujuh, jika dalam pekerjaan ia dapat membaktikan tugas, kewajiban atau panggilan tertentu yang ia pandang penting. Karena pekerjaannya diyakini sebagai amanah maka ia bekerja, ikhlash, cerdas dan tuntas. Baginya, bekerja memberikan kegembiraan dan kenikmatan. Rasa bertanggung jawab atas tugas penting merupakan syarat utama bagi pertumbuhan, aktualisasi diri, serta kebahagiaan.

Dengan demikian kita berharap, di tengah kehidupan modern yang penuh perubahan dengan persepsi dan orientasi yang ambigu, spiritual integrity dapat kita jadikan sebagai tindakan moral yang memberi makna kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagai bangsa Indonesia kita dapat keluar dari perilaku korupsi yang membahayakan bagi kelangsungan hidup bernegara dan beragama. Amin.[]