TRANSFORMASI LAYANAN BERBASIS AGAMA
Refleksi RAKERNAS KEMENAG 2021

Diposting oleh Zaid, ST 06 Apr 2021, 14:11:01 WIB Opini
TRANSFORMASI LAYANAN BERBASIS AGAMA

Menyikapi paradigma baru dalam perkembangan dunia birokrasi sebagai agen layanan public ( public service agency ) di masyarakat yang sedang berubah seperti Indonesia, sangat menarik untuk diperbincangkan. Kementerian Agama sebagai agen layanan umat beragama ikut tertantang dengan adanya paradigm tersebut. Untuk menjawab tantangan perubahan yang sangat mendasar dalam tatanan umat beragama demikian, maka RAKERNAS Kementerian Agama tahun 2021 mengambil thema “Percepatan Transformasi Layanan Publik”.

Transformasi layanan dalam kondisi atau era disrupsi saat ini suatu hal yang sangat penting dan tak dapat diabaikan. Menurut Robert K. Greenleft (1955), kepemimpinan yang melayani (servant leadership) adalah pemimpin yang menjadikan pelayanan sebagai substansi utama dalam kepemimpinan. Dalam persfektif ini pilihan pertama dan utama dari kepemimpinan bukanlah masalah metode dan tehnik memimpin, melainkan justru adalah pilihan untuk melayani. Jika pilihan ini yang menjadi landasan pondasi moral pemimpin, maka kekuasaan hirarkis yang memisahkan pemimpin dari pengikut tidak akan terkorupsi. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mempunyai semangat spiritual yang tinggi sehingga melayani baginya merupakan realisasi sebuah risalah yang turun dari Tuhan Semesta Alam untuk mengatur kehidupan manusia dalam semua aspeknya sebagai mahkluk istimewa, yakni yang berperan sebagai pemimpin di permukaan bumi. Dalam persfektif agama ( Baca : Islam ) seorang pemimpin lebih bersikap pengabdian dalam makna “unconditional commitment” untuk menuju sebuah kesuksesan besar dalam mengemban tugas. Hal inilah yang akan melahirkan inovasi dan motivasi dengan pondasi spiritual bagi pelayanan unggul yang sustainable.

Menurut pandangan ini pelayanan sejatinya lahir dari komitmen yang tidak bersyarat terhadap orang lain. Dan ini adalah hasil dari merasakan keadaan (empaty), kasih sayang (compassion), rendah hati (humility), dan cinta (love) terhadap orang lain. Al-Quran dan Sunnah Rasul sesungguhnya telah bicara 1.400 tahun lebih dahulu tentang empathy, compassion dan humanity ini, diantaranya dapat kita lihat pada hadist Riwayat Abu Daud sbb : “Orang-orang yang belas kasih akan dirahmati (di kasihi) oleh Ar-Rahman, kasihanilah yang di permukaan bumi niscaya yang berada di langit akan mengasihimu” (HR. Abu Daud). Kemudian terdapat pula dalam surat Al-Furqan ayat 63 : Yang Artinya : Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. ( Qs. 25 : 63 ).

Dengan demikian agama ( baca : Islam ) membawa pesan yang sangat kuat untuk melayani orang lain dalam arti yang seluas-luasnya sebagai bagian dari realisasi risalah. Tidak ada satu amalan, sekalipun berbentuk ritual individu, yang tidak membawa dampak kepada orang lain. Bahkan sejatinya iman seseorang dalam perspektif Islam justru akan teruji dari kepedulian dan pelayanannya kepada orang lain. Apalagi dalam kerangka kepemimpinan sosial. Pelayanan kepada pengikut dan kepada umat sudah merupakan hakikat dasar yang tidak tertawarkan lagi dari kepemimpinan.

Pemimpin spiritual yang berpengaruh adalah pemimpin yang melayani. Namun ia melayani realisasi sebuah risalah yang turun dari tuhan Semesta Alam, untuk mengatur kehidupan manusia dalam semua aspeknya sebagai makhluk istimewa, yakni yang berperan sebagai pemimpin di muka bumi. Mereka yang yang menjadi pelayan realisasi risalah ini mencakup para rasul, para Nabi dan para ahli warisnya yang utama (warasatul anbiya), hingga mereka yang mengabdikan diri untuk da’wah pada berbagai sector kehidupan sekarang.

Dalam persfektif kepemimpinan spiritual, pelayanan mengandung makna unconditional commitment terhadap suksesnya perwujudan misi kepemimpinan. Pelayanan atau pengabdian mengisyaratkan suatu kondisi Selflessness/ penihilan diri, yang dengan demikian juga berarti penghambaan atau penyerahan diri kepada Allah swt, semata. Sikap melayani muncul dari rasa kasih sayang dari dalam dirinya. Hal ini sejalan dengan Hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bin Ash ra, Rasulullah bersabda, “Orang yang berbalas kasih pasti dikasihi oleh Yang Maha Pengasih, berbalas kasihlah kepada yang dibumi, niscaya para penghuni langit akan berbalas kasih kepadamu sekalian.” HR. Abu Daud dan Tirmizi.

Siapa saja yang ingin mengasah pisau kepemimpinannya akan menampilkan dirinya sebgai seorang yang cinta melayani atau disebut juga dengan stewardship. Menurut Stephen Copey (2006), seorang steward adalah orang yang terpanggil untuk secara bertanggung jawab mengurus segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya. Kita adalah sterword terhadap waktu, bakat-bakat dan segala sumber daya kita. Kita mengemban tanggungjawab di tempat kerja dan dalam masyarakat.

Pemimpin yang berpusatkan pada nilai-nilai spiritual, melayani tidak dengan memberi materi, tetapi memberikan sebongkah hati. Dengan tulus mereka tidak hanya mendengar dengan telinganya, tetapi hatinya. Mereka melayani bukan ingin mewujudkan kepuasan, melainkan ingin mewujudkan cinta. Mereka melayani bukan kerana pamrih apapun karena dia hidup semata-mata untuk melayani. Setiap kali kita melayani, hati kita semakin benderang. Para pemimpin yang mukhlish melayani dengan cinta bukan karena tugas atau pengaruh dari luar, melainkan benar-benar sebuah obsesi yang sangat mendalam bahwa aku bahagia karena melayani. Melayani atau menolong orang lain merupakan bentuk kesadaran dan kepedulian terhadap nilai kemanusiaan. Memberi pelayanan dan pertolongan merupakan investasi yang kelak akan dipetik keuntungannya, tidak hanya di akhirat tetapi juga di dunia.

Dengan demikian, pelayanan bukan hanya berhenti pada ara-ara yang bersifat tehnis (hardware), misalnya cara dan keserasian berpakaian, tersenyum dan lain sebagainya, melainkan juga berkaitan dengan suasana hati (software), yaitu ketulusan dan memberikan makna pada pelayanan sebagai suatu prinsip hidup.

Prinsip hidup demikian dapat dilakukan dengan beberapa langkah denan model pelayanan sebagai berikut ; 1. Melayani itu ibadah dan karenanya harus ada rasa cinta dan semangat yang membara dalam hati pada setiap tindakan pelayanan, 2. Memberi dahulu dan Anda akan menerima 3. Mengerti orang lain terlebih dahulu sebelum ingin dimengerti, 4. Bahagiakanlah orang lain telebih dahulu dan kelak anda akan menerima kebahagiaan melebihi dari pada yang anda harapkan, 5. Lakukanlah empati yang sangat mendalam dan tumbuhkan sinergi. 6. Gunakan tehnologi sebagai media layanan.

Sebab itulah bahwa seorang profesional hakikatnya adalah orang yang menjadikan dirinya sibuk untuk memberikan pelayanan. Mereka merasa bahagia dan memiliki makna apabila hidupnya dipenuhi dengan pelayanan. Mereka menterjemahkan SERVICE bukan hanya sekedar sebuah kata, melainkan memiliki makna yang berdimensi luas yang tidak hanya duniawi orientet tetapi juga ukhrawi orientet. Semoga RAKERNAS Kementerian Agama RI Tahun 2021 ini menghasilkan model transformasi layanan unggul yang maju dan modern. Amin.[]