NILAI EDUKASI IBADAH QURBAN DI TENGAH PANDEMI COVID-19
Hikmah Ibadah Qurban

Diposting oleh Zaid, ST 19 Jul 2021, 15:09:31 WIB Opini
NILAI EDUKASI IBADAH QURBAN   DI TENGAH PANDEMI COVID-19

Hari Raya Idhul Adha atau juga disebut dengan hari raya qurban, merupakan momen strategis bagi umat islam untuk melakukan penguatan nilai religius dalam kehidupan social keagamaan. Tahun ini hari raya qurban jatuh pada tanggal 20 Juli 2021 M/1442 H mendatang, di tengah dunia sedang dilanda pandemic covid-19. Walaupun demikian semangat ibadah qurban umat Islam tidak sirna ditelan masa.

Ibadah qurban memiliki banyak nilai yang sangat penting bagi masyarakat. Di dalam perintah qurban terkandung nilai edukasi yang dapat mencerdaskan manusia, baik kecerdasan intelektual, spiritual, emosional maupun social. Ibadah ini memiliki figur atau sosok yang dapat di contoh oleh manusia seperti Nabi Ibrahim as. Sebagai figur yang baik beliau berhasil dan sukses sebagai kepala rumah tangga, orang tua dalam mendidik dan mengembangkan potensi intelektual, emosional dan spiritual keluarga.

Sejarah kesuksesan keluarga Nabi Ibrahim, as selalu menarik dan actual untuk dikaji dan di kembangkan, karena kesuksesan beliau memiliki samudera hikmah yang tak habis diselami. Terdapat banyak nilai-nilai edukasi dalam ibadah qurban yang dapat diambil sebagai pelajaran dalam kehidupan modern saat ini. Apalagi di tengah wabah Covid-19 yang semakin memperihatinkan , banyak hikmah yang harus dijadikan pelajaran dalam mendidik jiwa kita, jiwa keluarga dan jiwa bangsa yang sedang galau dalam berbagai ujian dan cobaan.

Hadirnya berbagai kecenderungan di era globalisasi modern saat ini, merupakan tantangan bagi kehidupan kita dan sekaligus menjadi peluang jika mampu dihadapi secara bijaksana. Lalu apa yang dapat kita gali dari perintah qurban? Paling tidak terdapat beberapa nilai edukasi yang dapat menjadi pegangan bagi manusia dalam menghadapi bencana Covid-19 yaitu :

Pertama : Nilai Pendidikan Keimanan. Iman merupakan kepercayaan yang terhunjam ke dalam hati dengan penuh keyakinan, tak ada perasaan syak (ragu-ragu) serta mempengaruhi orientasi kehidupan, sikap dan aktivitas keseharian. Menurut al-Gazali, iman adalah mengucapkan dengan lidah, mengakui benarnya dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan.( Yunahar Ilyas : 2002 ). Dipertegas lagi oleh Assegaf bahwa iman berarti pengetahuan (knowledge), percaya (belief, faith) dan yakin tanpa bayangan keraguan (to be convinced beyond the least shadow of doubt). Dengan demikian, iman adalah kepercayaan yang teguh yang timbul akibat pengetahuan dan keyakinan. Iman ini yang menuntun seseorang untuk bersikap taat, tunduk, patuh, pasrah, dan takwa kepada Allah SWT. Semakin besar ujian dan cobaan semakin besar iman dan kuat pula iman didadanya.

Berdasarkan pengertian iman tersebut, bila dikaitkan dengan sejarah ibadah qurban, sungguh keimanan yang begitu luar biasa kokoh diperlihatkan Ibrahim dan Ismail. Buah dari keimanan mereka adalah melaksanakan perintah penyembelihan dari Allah SWT. Mereka siap untuk melakukan apa saja yang diperintahkan Allah, termasuk mengorbankan orang yang disayangi bahkan nyawanya sekalipun. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa suatu ibadah akan mudah terlaksana bila dilandasi dengan iman yang kuat.

Kedua : Nilai Pendidikan Akhlak. Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perilaku yang baik dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Menurut R?gib al-I?fah?n?, akhlak merupakan suatu daya yang diketahui dengan akal atau bagi dayah gariziyyah (tabiat), dalam artian suatu keadaan yang diupayakan menuju terbentuknya sesuatu, atau berbagai upaya manusia dalam melatih kemampuan-kemampuannya melalui pembiasaan ( Amril : 2015). Sehingga, akhlak dapat dimaknai sebagai keadaan jiwa manusia yang menjadi sumber lahirnya suatu tindakan secara spontan.

Nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam sejarah ibadah kurban, dapat dilihat dari beberapa sikap Ibrahim sekeluarga dalam merespons perintah penyembelihan dari Allah SWT, yaitu: Doa Ibrahim kepada Allah SWT. agar dikaruniakan anak yang saleh, sikap Ismail setelah mendengarkan perintah penyembelihan dari Allah SWT, kepatuhan Hajar kepada Allah dan suaminya ketika digoda oleh setan untuk menghentikan Ibrahim melakukan penyembelihan terhadap anaknya.

Ketiga : Nilai Pendidikan Kesabaran . Hakikat sabar adalah pengendalian diri untuk tidak berbuat keji dan dosa, mampu menaati perintah Allah, memegang teguh akidah Islam dan mampu tabah untuk tidak mengeluh atas musibah apapun yang menimpa. Kesabaran bukanlah kepasrahan terhadap segala sesuatu yang sulit untuk dilaksanakan atau dicapai, kesabaran juga tidak pernah menutup potensi manusia untuk berusaha mengeluarkan segala kemampuan yang dia miliki, melainkan membuat manusia untuk tetap optimis dan mempunyai jiwa yang giat berusaha tanpa mengenal yang namanya putus asa.( Wahid Ahmadi dan Rachmi Hamidawati : 2004). Jadi, sabar adalah ketabahan hati seseorang dalam menerima dan menghadapi berbagai ujian dan cobaan dari Allah. Nilai pendidikan kesabaran yang dicontohkan dalam sejarah ibadah kurban adalah ketabahan hati Ibrahim sekeluarga dalam menerima ujian dari Allah berupa perintah penyembelihan anaknya.

Saat ini penduduk dunia dan Indonesia khususnya sedang menghadapi cobaan dan ujian yang tidak ringan akibat Covid-19. Seluruh tatanan kehidupan mengalami kemunduran, kejahatan meningkat, tatanan ekonomi melemah dan kehidupan social politik berbangsa terganggu. Untuk itu sangat perlu kita memperkuat kesabaran sambil berdoa agar kita segera kembali seperti sedia kala.

Keempat : Nilai Pendidikan Tawakal. Tawakal adalah membebaskan hati dari ketergantungan kepada selain Allah SWT dan menyerahkan segala keputusan hanya kepada-Nya. Tawakal menjadi landasan atau tumpuan akhir dalam suatu usaha/perjuangan. Meskipun tawakal diartikan sebagai penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, namun tidak berarti orang yang bertawakal harus meninggalkan semua usaha, sehingga kekeliruan besar bila orang yang menganggap tawakal dengan memasrahkan segalanya kepada Allah SWT tanpa diiringi dengan usaha maksimal. Tawakal adalah penyerahan secara total kepada Allah SWT. atas segala perkara dari ikhtiar (usaha) yang telah dilakukan. Tawakkal inlah yang mesti kita perkuat di saat covid-19 yang sedang melanda. Kita berdoa kepada Allah swt, dan berusaha mengikuti anjuran dokter untuk menjaga kesehatan dengan memperketat protocol kesehatan.

Kelima : Nilai Pendidikan Keikhlasan. Ikhlas merupakan kondisi hati yang menghasilkan perbuatan semata-mata karena Allah SWT. Al-Tusturi pernah ditanya: “Apakah sesuatu yang paling berat di rasakan oleh hawa nafsu?” Dia menjawab: “Ikhlas, karena sesungguhnya hawa nafsu tidak punya peran di dalamnya. Ikhlas akan melepaskan semua peran hawa nafsu”. ( Muhammad Gatot Aryo : 2007). Sejalan dengan pendapat Sentanu, bahwa di dalam diri kita terdapat dua zona, yaitu zona nafsu dan zona ikhlas. Zona nafsu merupakan wilayah yang dipenuhi dengan keinginan namun terasa menyesakkan dada. Zona ini diselimuti oleh energi rendah karena yang ada di dalamnya adalah perasaan negatif, cemas, takut, keluh kesah, dan amarah. Sedangkan zona ikhlas adalah zona yang bebas hambatan, terasa lapang di hati. Energi yang menyelimuti zona ikhlas adalah berbagai perasaan positif yang berenergi tinggi seperti rasa syukur, sabar, fokus, tenang, dan senang. Nilai pendidikan keikhlasan yang ditunjukkan dalam sejarah ibadah kurban adalah keikhlasan Ibrahim sekeluarga dalam menjalankan perintah Allah. Ibrahim dan Hajar ikhlas mengurbankan anaknya, Ismail ikhlas disembelih sebagai kurban kepada Allah SWT. Hal ini tentu lahir karena kecintaan hamba terhadap Tuhannya. Jadi, keikhlasan dapat muncul bila ada cinta atau kasih sayang. Sehingga penting bagi pendidik dan orang tua untuk menyayangi peserta didik dan anak-anaknya demi memunculkan keikhlasan dalam mendidik anak bangsa masa depan.

Kelima : Nilai Pendidikan Demokratis. Demokrasi dalam pendidikan dimaknai oleh Sutari Imam Barnadib sebagai sifat kepemimpinan orang tua dalam mendidik yang mengandung unsur kewibawaan, tetapi bukan otoriter, kepemimpinan ini disesuaikan dengan taraf perkembangan anak dengan cita-cita, minat, kecakapan, dan pengalamannya. Anak ditempatkan pada tempat yang semestinya, yang mempunyai kebebasan untuk berinisiatif dan aktif. Di samping itu, orang tua memberikan pertimbangan dan pendapat kepada anak, sehingga anak mempunyai sikap terbuka dan bersedia mendengarkan pendapat orang lain karena anak sudah terbiasa menghargai hak dari anggota keluarga di rumah. Hal serupa diungkapkan Wiryo Kusuma, bahwa demokrasi dalam lingkup pendidikan adalah pengakuan terhadap individu peserta didik sesuai dengan harkat dan martabat peserta didik itu sendiri, karena demokrasi adalah alami dan manusiawi. Ini berarti bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proses pendidikan harus mengakui dan menghargai kemampuan dan karakteristik individu peserta didik tanpa ada unsur paksaan atau mencetak peserta didik yang tidak sesuai dengan harkatnya.( Iskandar Wiryo Kusuma : 2001).

Nilai pendidikan demokratis yang dicontohkan Ibrahim dalam sejarah ibadah kurban terlihat pada cara menyampaikan perintah Allah SWT. yang diperolehnya melalui mimpi, sebagaimana disebutkan dalam QS al-?aff?t/37: 102. Ibrahim tidak mengatakan “saya ingin menyembelihmu karena perintah Allah”, akan tetapi mengatakan “saya diperintahkan Allah menyembelihmu, bagaimana pendapatmu mengenai perintah itu?” Kalimat dalam pertanyaan ini menunjukkan keyakinan Ibrahim akan kewajiban melaksanakan penyembelihan, namun Ibrahim masih menanyakan pendapat Ismail mengenai penyembelihan itu. Suatu sikap demokratis yang perlu diteladani dalam mendidik anak –anak . Tentu hal ini agar mereka kelak berkembang menjadi anak yang terbuka dalam menghadapi persoalan dalam hidupnya.

Keenam : Nilai Pendidikan Dialogis. Dialog secara bahasa berarti percakapan, artinya percakapan untuk bertukar pikiran (diskusi). Menurut Ruel L. Howe, dialog adalah suatu percakapan antara dua orang atau lebih di mana terdapat pertukaran arti atau nilai antara keduanya sebagai ganti halangan yang biasanya menggagalkan relasi kedua belah pihak. Ini berarti bahwa salah satu pihak tidak boleh mencoba hanya mengemukakan pendapatnya sendiri kepada pihak lain, sehingga ciri komunikasi dialogal adalah adanya respon (umpan balik) dari relasi komunikasi demi mengungkapkan pendapatnya. Jadi, tujuan dialog bukanlah mencari kebenaran atau membuat orang lain mengikuti pendapat kita, tetapi pemahaman tentang sesama relasi dialog.( Ruel. L. Howe : 2004). Kedua belah pihak saling bertukar pendapat tentang suatu perkara tertentu. Hal ini yang dilakukan Ibrahim dengan memberitahukan Ismail tentang mimpinya agar dapat dipahami oleh Ismail yang masih remaja. Cara berdiskusi ini melatih untuk berargumentasi, ketangguhan dan keteguhan untuk patuh kepada Allah dan orang tuanya. Ini merupakan keberhasilan Ibrahim sebagai ayah dengan kecerdasan akal tetapi lebih mendahulukan wahyu dalam mendidik anaknya.

Sikap kepatuhan Ismail dapat dipahami sebagai indikator keberhasilan pendidikan metode dialog. Pertanyaan Ibrahim “wahai anakku aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu, maka bagaimana pendapatmu mengenai mimpi itu?” Ungkapan ini dikuatkan dengan landasan teori bahwa mimpi para Nabi adalah wahyu. Pertanyaan tersebut adalah bentuk ajakan Ibrahim kepada Ismail untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Argumentasi Ismail yang mengungkapkan, “wahai ayahku, laksanakanlah perintah Allah” merupakan kecerdasan intelektual dengan dibarengi keterampilan berbicara yang sangat baik. Dia tidak mengatakan “sembelihlah aku”, tetapi mengatakan “laksanakanlah perintah Allah”. Jawaban ini dapat menjadi obat pelipur lara bagi keduanya dalam menghadapi ujian penyembelihan dari Allah SWT. Argumentasi Ismail dilandaskan kepada kesiapannya untuk melaksanakan perintah Allah SWT dengan cara dan dalam bentuk apapun.

Ketujuh : Nilai Pendidikan Sosial. Sosial berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat atau secara abstraktif berarti masalah-masalah kemasyarakatan yang menyangkut berbagai fenomena hidup dan kehidupan orang banyak. Jadi, sosial adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan hubungan antar orang atau antar kelompok atau dapat disebut dengan problem kemasyarakatan. Oleh sebab itu, perlu pendidikan sosial dalam rangka menjaga kestabilan pranata sosial di tengah masyarakat.

Masyarakat pertama dalam kehidupan manusia adalah keluarga (rumah tangga), yang terdiri dari suami, isteri dan anak-anak. Hidup bermasyarakat menimbulkan hak dan kewajiban dikalangan para anggotanya. Hubungan suami, isteri dan anak menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi masing-masing. Dalam sejarah ibadah kurban kesadaran Ibrahim sekeluarga atas tugas, peran, dan tanggung jawabnya dalam keluarga sangatlah tinggi. Hal ini tentunya tidak dapat terwujud tanpa upaya dari Ibrahim yang dengan baik melakonkan perannya sebagai kepala rumah tangga, suami, ayah, dan pendidik. Buah dari keberhasilannya itu diberikan balasan oleh Allah berupa keselamatan, predikat muhsin, serta disyariatkan ibadah kurban untuk meneladani dan memujinya.

Salah satu hikmah dianjurkannya seseorang melihat qurbannya disembelih agar berbaur dengan masyarakat. Hikmah dianjurkannya pembagian daging kurban adalah melatih untuk bersedekah dan merasakan perasaan orang miskin. Namun, ibadah kurban bukan dikotomi antara si miskin dan si kaya, tetapi kesadaran akan tanggung jawabnya masing-masing dalam masyarakat, inilah yang akan membentuk struktur kesatuan social dalam kehidupan. Mudah mudahan Ibadah qurban kita tahun ini ( 2021 M/1442 H ) dapat kita jadikan sebagai momentum perubahan untuk memperteguh nilai- nilai edukasi menuju masyarakat yang lebih baik. Amin.[]