SPIRITUALITAS MUDIK
Hikmah

Diposting oleh Zaid, ST 16 Apr 2024, 13:25:14 WIB Opini
SPIRITUALITAS MUDIK

Sudah menjadi budaya religius bahwa setiap akhir Ramadhan menjelang Idhul fitri umat Islam berbondong-bondong pulang ke kampung halaman alias mudik lebaran. Tradisi ini menjadi penomena yang mengasikan dan menyenangkan. Di Indonesia, pemerintahpun memberikan perhatian yang serius terhadap tradisi ini dengan menyiapkan kebijakan tentang libur Idhul fitri dan cuti bersama. Tidak hanya sampai disitu pemerintah juga mengeluarkan aturan tentang Tunjangan Hari Raya alias THR bagi PNS dan pekerja swasta lainnya.

Tidak diketahui kapan istilah mudik pertama kali muncul dalam masyarakat kita, yang jelas aktifitas mudik adalah sangat mengasikan dan yang paling ditunggu-tunggu kedatangannya. Jika kita melihat lebih jauh, mudik bukan hanya sekedar istilah yang digunakan untuk aktifitas pulang kampung namun mempunyai makna yang amat dalam utamanya jika dilihat dari sisi moralitas agama ( baca ; Islam ). Hal ini diyakini karena Islam membangun nilai-nilai moral dalam setiap aktifitas manusia. Apalagi stilah ini sangat erat kaitannya dengan budaya religius. Artinya di dalam istilah mudik terdapat nilai-nilai religius yang menyertainya yaitu Ramadhan dan Idhul Fitri. Kedua istilah ini tak dapat dipisahkan satu sama lain. Nah dalam artikel singkat ini penulis ingin menjelaskan bagaiman kaum sufi memandang tradisi mudik yang menjadi penomena sosial agama dalam masyarakat.

Siapa saja yang melakukan mudik biasanya sarat dengan barang bawaan alias bagasi. Dalam aturan penerbangan dianjurkan tidak melebihi berat bagasi bagi pemudik. Keberatan bagasi akan menyulitkan perjalanan mudik, ya setidaknya kita harus menyiapkan banyak tenaga, biaya dan waktu untuk membawa bagasi dalam mudik. Bukan berarti kita tidak butuh barang harta dunia, namun jika bagasi terlalu berlebihan tentu akan kesulitas dalam perjalanan mudik yang dilakukan. Begitulah indahnya mudik, seberat dan sebanyak apapun bagasi yang kita bahwa akan hilang penat dan capek ketika sudah sampai di kampung halaman.

Kebahagiaan mudik lebaran memiliki nilai dan makna tersendiri. Terdapat dua makna mudik yaitu mudik dalam arti hakikiyah dan mudik dalam makna majaziyah. Dalam pandangan tasawuf mudik dalam makna hakikiyah memiliki konotasi dengan kembali ke kampung asal kejadian manusia. Kembali demikian disebut al-raji’ yaitu kembali kepada asal kemanusiaan kita. Mudik dalam makna majaziyah adalah mudik ke kampung halaman kita pada hari raya dengan perasaan gembira dan bahagia. Nah dalam kedua pandangan tersebut, mudik sama-sama membawa bekal atau bagasi.

Dalam makna majaziyah, bagasi mudik berupa sesuatu yang berbentuk materi yang bersifat duniawi. Ia hanya bersifat instrumen untuk menunjang kehidupan di dunia ( dikampung halaman ). Walaupun demikian ia tetap penting dan tidak dapat diabaikan. Bagasi duniawi walaupn bersifat menunjang dan sementara kadang banyak orang yang terlena dan tertipu. Bahkan dia tidak lagi mengukur kemampuan dirinya membawa bagasi dalam perjalanan mudik. Ibarat orang mendaki gunung, yang keberatan bekal dan peralatan, tentu sangat sulit untuk sampai ke puncak gunung di sebabkan kebanyakan bagasi.

Demikianlah realitasnya jiwa manusia. Jika hati, pikiran dan nafsu sangat kuat terikat dengan bagasi duniawi, pasti sulit untuk lari atau berjalan mendekati Allah,swt. Sebab itu mudik dalam pandangan kedua adalah mudik hakikiyah. Bagasi yang dibawa dalam mudik ini adalah bagasi spiritual dalam bentuk amal-amal sholeh. Bagasi ini yang seharusnya lebih banyak disiapkan karena perjalanan mudik ke akhirat sangatlah jauh.

Perjalanan mudik ini diawali dengan kematian. Sebab itu setiap anak adam meninggal kita mengucapkan “inna lillahi wainna ilaihi rajiun”, sesungguhnya manusia datang dari Allah dan akan kembali ( mudik ) kepada Allah swt. Alquran menjelaskan perilaku manusia ketika mudik adalah sebuah perjalanan pulang kehadirat Allah,swt. Terdapat dua golongan manusia ketika mudik menuju Tuhannya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam ( Qs. 88: 1-16 ). “ Sudahkan datang kepadamu peristiwa yang mengguncangkan, Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk terhina, (karena) bekerja keras lagi kepayahan, mereka memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum dari sumber mata air yang sangat panas, Tidak ada makanan bagi mereka selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak menghilangkan lapar, Pada hari itu banyak (pula) wajah yang berseri-seri, merasa senang karena usahanya (sendiri), (mereka) dalam surga yang tinggi, di sana (kamu) tidak mendengar perkataan yang tidak berguna, Di sana ada mata air yang mengalir, Di sana ada dipan-dipan yang ditinggikan, dan gelas-gelas yang tersedia (di dekatnya), dan bantal-bantal sandaran yang tersusun, dan permadani-permadani yang terhampar ( Qs. 88 : 1-16 ).

Dalam ayat diatas manusia mudik dalam dua golongan yaitu wujuhun khasyi’ah ( wajah yang ketakutan dan wujuhun na’imah ( wajah yang ceria gembira ). Golongan yang pertama adalah golongan yang kembali atau mudik dengan membawa bagasi duniawi yang selama di dunia dibangga-bangakan. Bagasi hidupnya berat dengan harta kekayaan, popularitas, jabatan, status sosial dan sebagainya yang kesemuanya itu tak berguna. Dalam hidupnya sibuk dengan mengejar dunia tanpa menghiraukan akhirat. Tujuan hidupnya hanyalah mengejar kesenangan dunia yang menipu.

Adapun golongan kedua adalah golongan orang-orang yang mudik dengan membawa bagasi ukhrawi yaitu bagasi amal sholeh. Mudik demikian adalah mudik hakikiyah. Selama hidupnya mereka tidak tertipu dengan kesenangan dunia yang menipu. Mereka mengumpulkan bagasi akhirat dengan memperbanyak amal ibadah. Mereka sadar bahwa kematian adalah mudik yang sesungguhnya, sebab itu bekal yang akan dibawa harus dipersiapakan tanpa ditunda-tunda.

Pada prinsipnya terdapat dua bagasi yang akan kita bawa mudik ke Rabbul alamin, yaitu bagasi dalam bentuk amal buruk dan bagasi dalam bentuk amal baik. Tentu saja kita sepakat memilih bagasi dalam bentuk amal baik. Kedua-duanya ikut mudik yang menjadi saksi di hadapan Allah swt. Perjalanan mudik menuju Allah adalah perjalanan spiritual yang penuh kepastian.

Suatu hari Imam Ali ra, melewati pekuburan di pinggiran kota kufah. Beliau berkata seraya menghadap kearah pekuburan.”Wahai penghuni kampung yang sunyi. Wahai penduduk yang tinggal di tempat yang sepi. Wahai orang-orang yang berdiam di kubur yang gelap. Wahai orang-orang yang berbaring diatas tanah, yang terasing, yang sendirian, yang kesepian. Kalian telah mendahului kami. Kami insya Allah akan menyusul kalian. Rumah kalian sudah ditinggali orang lain, isteri ( atau suami ) kalian sudah manikah lagi, harta kalian sudah dibagi-bagikan. Inilah kabar dari kami. Bagaimana kabar dari kalian?”

Imam Ali ra, kemudian menoleh kepada sohabat-sohabatnya, “Demi Allah, sekiranya Allah swt mengizinkan mereka berbicara, mereka akan berkata : Sesungguhnya bekal yang paling baik adalah Taqwa.” ( Dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, dalam Nahjul Balaghah, “Hikam,” 130 ).

Bagasi inilah yang sering kita abaikan dalam perjalanan mudik. Setiap hari kita bekerja keras untuk bekal mudik untuk pulang ke kampung halaman kita. Tidak terpikir bahwa kita harus berusaha keras untuk bekal mudik ke kampung asal kita yang sesungguhnya. Bukan untuk beberapa hari, tetapi untuk perjalanan jauh dan panjang, yang satu harinya sama dengan seribu tahun pada hitungan dunia. Berapa banyak diantara kita yang membanting tulang untuk persiapan masa pensiun yang hanya beberapa tahun ; tetapi kadang lupa untuk mempersiapkan masa ribuan tahun setelah ajal menjemput kita alias mudik keharibaan Rabbul alamin.

Mudik hakikiyah merupakan aktifitas yang tak dapat lari darinya. Semua anak adam akan mudik pada saat yang ditentukan. Jika ajal sudah datang perjalanan mudik sudah dimulai. Semua manusia takut dan bahkan jika bisa lari dari peristiwa itu. Sebagaimana Allah swt jelaskan dalam Qs. Al-Jumua’ah ayat ke 8 : “Katakanlah, "Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan."( QS. Al-Jum’ah : 8 ).

Berdasarkan ayat di atas, kematian itu pasti terjadi bagi manusia. Ia merupakan mudik menuju Rabbul ‘alamin. Bekal terbaik untuk pulang adalah ketaqwaan. Orang yang bertaqwa memiliki bagasi akhirat yaitu ilmu, iman dan amal sholeh. Dengan bagasi akhirat kesadaran diri akan semakin kuat. Sebab, menyadari datangnya kematian, merupakan langkah mempersiapkan diri dengan menginventarisasi semua aktivitas kehidupan. Apakah yang dilakukan aktivitas ketaqwaan ( ilmu, iman dan amal ) atau aktivitas kemungkaran.

Sekali lagi, kematian merupakan sesuatu yang pasti terjadi bagi setiap individu. Tidak ada seorangpun yang dapat menghindar dan lari dari kematian. Dalam ayat lain Allah,swt menjelaskan dalam Q.S An-Nissa:78: “Ingatlah, mau tidak mau kematian akan menjemput Anda. Anda tidak mungkin lari darinya. Dimanapun Anda berada, kematian akan menjemput. Anda jangan pernah bisa membayangkan bisa menghindarinya sekalipun banteng dan baja mengelilingi Anda.” (Q.S An-Nisaa[4]:78).

Orang yang telah menyiapkan bekal bagasi akhirat tidak akan takut pulang ke kampung yang abadi. Karena dia sudah mengetahui bahwa Al-Qur’an sangat antusias mengarahkan manusia supaya tidak takut kepada kematian, karena kematian adalah mudik yang membahagiakan. Orang yang membawa bagasi akhirat sangat memahami bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan yang fana dan kenikmatannya pun akan sirna, sedangkan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang abadi dan kenikmatannya pun kekal tak akan sirna. Mereka berbahagia karena memiliki tabungan devisa ilmu, iman dan amal yang menjadi bagasi mudik menuju kampung yang kekal abadi. Dengan demikian mudik ke kampung akhirat adalah peristiwa yang membahagiakan sebagaimana kita mudik lebaran ke kampung halaman. Wallahu’alam bissawab.[]