MORAL HETERONOMI DALAM PANDANGAN ISLAM
OPINI

Diposting oleh Zaid, ST 17 Nov 2022, 16:09:56 WIB Opini
MORAL HETERONOMI DALAM PANDANGAN ISLAM

Peradaban modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi komunikasi tidak serta merta menjadikan hubungan sosial semakin baik dan memiliki etika moral yang lebih baik pula. Apalagi kemajuan yang dicapai tidak diikuti dengan kesadaran nilai yang berorientasi kepada etika yang berdimensi ilahiyah atau Ketuhanan. Yang kerapkali terjadi justru perkembangan peradaban manusia yang diikuti dengan kemerosotan moral dan perilaku sosial yang serba manipulatif sehingga nilai-nilai moral sering dilanggar. Itulah diantara tantangan globalisasi yang sedang kita hadapi.

Berkaitan dengan hal itu, Ziauddin Sardar ( 1987 ) mengidentifikasi beberapa tantangan pada era globalisasi dan informasi sebagai berikut ( Muchlis Hanafi : 2011, ) : Pertama, keberadaan publikasi informasi merupakan sarana efektif dalam penyebaran isu. Baik isu positif maupun negatif. Namun yang dikhawatirkan adalah terjadinya stereotip dan subordinasi komunitas tertentu yang mengakibatkan saling curiga terhadap kelompok atau orang ( su’uzzon ) dalam masyarakat. Kedua, dalam banyak aspek, kekuatan dan hegemoni Barat dalam dominasi dan imperialisme informasi pada era ini menimbulkan sekularisme, kapitalisme, pragmatisme, dan sebagainya. Ketiga, dari sisi pelaksanaan komunikasi informasi, banyaknya publikasi persoalan-persoalan seksualitas, peperangan dan tindakan kriminal lainnya yang mendatangkan efek berbanding terbalik dengan tujuan komunikasi dan informasi itu sendiri. Masyarakat dihadapkan pada berbagai informasi yang bertendensi penyakit sosial sehingga perilaku masyarakat cenderung mengarah pada apa yang dilihat, didengar dan disaksikannya itulah yang terbaik baginya walaupun belum tentu benarnya. Keempat, lemahnya sumber daya manusia, modal sosial maupun kualitas keagamaan. Kondisi ini memaksa masyarakat mengimpor teknologi komunikasi informasi dari dunia Barat yang dipandang sebagai komoditi, walaupun kadang penggunaannya bertentangan dengan nilai moral atau etika.

Dari empat tantangan dalam dimensi praktik komunikasi dan transformasi di dunia modern tersebut dimanakah posisi moral agama , apakah sebagai sumber kesadaran ataukah hanya tempat pelarian dari kejenuhan modernisasi? Dalam artikel ini penulis mencoba menegaskan bahwa salah satu tantangan moral yang tampak dalam tatanan masyarakat global adalah moralitas yang terpaksa atau yang disebut sebagai Moral Heteronomi.

Istilah ini jarang kita dengar dalam ungkapan sehari-hari. Tetapi praktek dalam perilaku sosial sering kita jumpai dalam masyarakat dan bahkan pada diri kita sendiri. Moral heteronomi terjadi akibat pengaruh negatif globalisasi sehingga menyebabkan rendahnya kesadaran moral agama bagi pemeluknya.

Menurut Immanuel Kant moral heteronomi adalah sikap manusia dalam bertindak dengan hanya sekadar mengikuti aturan moral yang bersifat eksternal. Atau suatu tindakan baik yang dilakukan hanya karena sesuai dengan aturan moral yang tidak diiringi dengan kesadaran diri melainkan karena perasaan takut. ( A. Sonny Keraf : 2000 ). Dalam pandangan ini bersikap baik ( bermoral ) tidak dilandasi oleh kesadaran dari dalam diri seseorang melainkan karena desakan dan keterpaksaan dari luar. Dengan kata lain perilku baik dilakukan karena dipaksa oleh aturan, atau terpaksa karena takut kepada hukuman dan sebagainya. Akibatnya manusia akan berpura-pura baik padahal ia sedang melakukan manipulasi kebaikan.

Kondisi demikian menyebabkan kehidupan sosial sarat dengan ambiguitas dan kepura-puraan. Nilai-nilai etika dan moral yang menjadi tujuan pendidikan sedikit demi sedikit akan kehilangan elanpitalnya, sehingga tujuan dan nilai pendidikan yang dibangun seakan-akan tidak berhasil dan kehilangan makna. Sebab itulah jika kita membaca peta jalan perubahan yang terjadi saat ini, banyak prediksi yang berkembang di kalangan para ahli pendidikan bahwa masyarakat modern telah mengalami pergeseran dan kehilangan nilai moral yang sesungguhnya dalam masyarakat. Nilai yang kita maksud dalam artikel ini tidak lain adalah nilai adab.

Dalam pendidikan Islam, adab merupakan tujuan pendidikan yang utama. Adab merupakan inti perwujudan iman dan taqwa yang akan melahirkan manusia yang berkarakter dan berakhlaq mulia. Apabila nilai adab sudah hilang maka tidak heran jika suatu masyarakat memiliki orang-orang biadab.

Di Indonesia istilah “adab” bukan hal yang asing dan baru. Sebab, kata ini sudah terbiasa digunakan dalam masyarakat dan bahkan tercantum dalam dasar negara Pancasila pada sila kedua, yaitu: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Masuknya istilah “adab” dalam Pancasila ini merupakan indikasi kuatnya kesadaran moral dalam masyarakat. Begitu pentingnya adab sampai-sampai Ibn al-Mubarak menyatakan: “Nahnu ilaa qaliilin minal adabi ahwaja minnaa ilaa katsiirin mina ’ilmi.” ( Mempunyai adab meskipun sedikit lebih kami butuhkan daripada banyak ilmu pengetahuan tapi tidak punya adab ).

Suatu ketika Imam Syafi’i pernah ditanya oleh muridnya : ”Sejauh manakah perhatian guru terhadap adab? Beliau menjawab: Setiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran budi pekerti meski hanya satu huruf, maka seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan (mendengarnya) seolah-olah setiap organ itu memiliki alat pendengaran (telinga). Demikianlah perumpamaan hasrat dan kecintaanku terhadap pengajaran budi pekerti.” Beliau ditanya lagi, ”Lalu bagaimanakah usaha-usaha dalam mencari adab itu?” Beliau menjawab, ”Aku akan senantiasa mencarinya laksana usaha seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.”

Berdasarkan beberapa pandangan diatas, tidak di ragukan lagi betapa pentingnya adab dalam kehidupan modern. Karena, tanpa adab dan perilaku terpuji kesadaran moral tidak akan terbangun dalam masyarakat global walaupun ilmu pengetahuan dan tehnologi semakin maju dan canggih. Untuk itu sangat tepat apa yang dikatakan oleh Dr. Adian Husaini, MA, bahwa adab adalah sendi moral yang mencerminkan perilaku mulia dalam hubungannya dengan Allah swt, manusia dan alam sekitarnya. Nilai adab menjadi tujuan tugas para nabi dan rasul di turunkan ( Dr. Adian Husaini : 2012 ).

Dalam pandangan ini adab merupakan dasar-dasar nilai kehidupan yang mencerminkan sikap dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan Allah swt dan seluruh makhluk ciptaan-Nya. Dari sikap dan perilaku inilah semestinya lahirnya peradaban di bumi. Manusia adalah obyek utama yang menjadi tujuan peradaban. Oleh sebab itu nilai adab harus tumbuh dalam kehidupan modern dalam wujud tugas dan fungsi manusia sebagai khalifah di bumi.

Fungsi manusia sebagai khalifah merupakan kehendak Sang Pencipta. Allah swt menciptakan manusia untuk memakmurkan bumi melalui fungsi ini. Maka manusia berkewajiban memelihara, memanfa’atkan dan mengembangkan budaya di bumi sesuai dengan petunjuk di langit ( perintah Allah swt ). Melalui perintah Allah swt ( baca : wahyu ) , manusia mengembangkan potensi budaya dengan menggunakan pengetahuan dan tehnologi untuk berkembang maju dalam kehidupannya.

Sebagai kenyataan bahwa pengaruh negatif budaya global telah menyeret nilai-nilai adab kedalam stigma peradaban modern yang berbasis materialistik, sehingga nilai baik dan buruk hanya di orgumentasikan bukan di contohkan. Dan bahkan nilai kebaikan hanya menjadi basis keuntungan komersialistik yang bersifat duniawi yang mendatangkan kesenangan belaka. Hidup dianggap sukses ketikan banyak mendapatkan pujian dan tepuk tangan meriah yang mendatangkan kebanggaan bagi seseorang. Tidak hanya itu, tata nilai dan tata santun sulit dilakoni karena minimnya keteladanan.

Stigma modernisasi telah menjadikan informasi menjadi kepentingan utama dalam menapaki pergaulan global, sehingga hegemoni sosial menjadi semberaut mengikuti jaringan kepentingan setiap peribadi. Persis seperti semberautnya jaringan internet yang simpang siur di alam maya yang tak terkendalikan. Keterbukaan publik dapat menjadi tantangan yang berat bagi pergaulan sosialnya rendah. Hubungan peribadi antar manusia sangat subyektif segalanya dinilai dengan materil. Kehidupan terasa hampa karena kehilangan makna. Kondisi ini benar-benar telah menyebabkan manusia mengalami penderitaan dan kemiskinan spiritual. Akibatnya ketenangan dan ketentraman batin jauh dari kepribadian. Hidup dihiyasi dengan patamorgana dunia yang melintasi dunia maya yang dipandang nyata. Egoisme semakin subur, tatanan hidup jujur hancur melebur dalam sikap yang takabbur. Derita ini tidak lain disebabkan oleh tumbuh suburnya moral heteronomi di kalangan umat beragama. Moral heteronomi menyebabkan tercerabutnya kesadaran moral seseorang, sehingga berbuat baik hanya karena adanya kekuatan menakutkan dari luar, bukan karena kesadaran dari dalam. Karena dipaksa oleh sesuatu dari luar maka ia lalu berbuat baik. Hal ini terjadi karena tidak adanya kesadaran batin yang lahir dari dalam diri peribadi seseorang. Moralitas seperti ini memili dampak perilaku pelanggaran hukum yang sulit diduga dan dikendalikan. Perilaku a-moral akan semakin liar dan sulit dikendalikan. Disinilah pentingnya spirit agama sebagai inspiratif-power yang mendorong dari dalam diri seseorang.

Ketika Marshall McLuhan menulis sebuah buku tahun 1960, yang diberi judul ; Understanding Media, sejak itu telah mengubah cara pandang orang tentang kedahsyatan media dalam membentuk cara hidup masyarakat ( Dr. Haidar Bagir : 2018 ). Sejak itu pula dunia sebagai global village diperkenalkan. Sampai saat ini media sudah menjadi digital sehingga penyebaran informasi, semakin cepat dan aksesible yang menggoda semua orang sehingga zaman terasa sangat kacau dengan simpang siurnya information spill over atau luberan informasi yang overloud. Wajah masyarakat dunia sulit diduga, keperibadian seseorang semakin liar dan kebingungan serta mengalami dis-orientasi.

Dalam pandangan ini media dan masyarakat global tak dapat dipisahkan. Media menjadi kekuatan dahsyat dalam masyarakat global dan bahkan hingga saat ini telah merubah wajah peradaban baru yang menakutkan. Penomena tersebut telah melahirkan sikap hidup yang cenderung egosenteris. Kepentingan peribadi dan kelompok lebih utama sehingga kebijaksanaan dalam berperilaku terkubur oleh desakan kepentingan peribadi sehingga iklim demokrasi yang telah mapan dapat dibongkar ulang oleh statemen yang seakan-akan benar.

Mengurai permasalahan sebagaimana yang kita hadapi tersebut kita harus melakukan re-orientasi perilaku moral dengan membangun kesadaran agama. Dengan kata lain agama harus dijadikan inspirasi moral yang dimulai dari dalam diri untuk kemudian diimplementasikan dalam dimensi sosial. Langkah ini harus mendobrak kebekuan orientasi duniawi atau material yang selama ini diagungkan oleh orang-orang modern ( sekuler ) yang melupakan substansi tujuan hidup yang azasi, dengan mengubah kepada orientasi ukhrawi. Walaupun orientasi ini dianggap spektrum klasik dan kolot, namun harus diyakini bahwa orientasi hidup di zaman kacau hari ini, harus dijawab dengan menawarkan penyelamatan yang abadi. Tawaran ini harus dimulai dari pembiasaan ( habituation ) diri sendiri untuk kemudian mengajak orang lain. Hanya dengan cara itu kita bisa lari dari perilaku moral heteronomi.

Akhirnya kita berharap peradaban modern yang sedang kita hadapi terhindar dari moral heteronomi, sehingga perilaku sosial dapat dikendalikan dan peradaban bangsa yang maju, berkarakter dan berakhlak muliya dapat kita capai. Amin.[]