AQAL BUDI DAN PERADABAN MILENIAL
Hikmah

Diposting oleh Zaid, ST 04 Mei 2020, 09:39:44 WIB Opini
AQAL BUDI DAN PERADABAN MILENIAL

“Menagapa engkau merasa aman, padahal semua yang engkau yakini kebenarannya dalam keadaan terjaga, baik diketahui dengan indera maupun aqal, bisa saja hanya benar dalam kondisi engkau saat itu ? Mungkin saja nanti akan datang satu kondisi, ketika itu engkau akan tahu bahwa keterjagaan engkau saat ini hakikatnya adalah tidur,dan tidur engkau sekarang hakikatnya adalah terjaga. Jika kondisi itu terjadi, kelak engkau akan meyakini bahwa asumsi-asumsi yang kini engkau bangun dengan orgumen aqal sesungguhnya hanyalah hayalan yang tidak terbukti.” ( Imam Al-Ghazali ( 1058-1111 M ).

Seandainya kehidupan dunia ini masih panjang tentu begitu banyak harapan dan cita-cita manusia yang ingin di diwujudkan sebagaimana banyaknya problem yang akan di pecahkan. Proses kehidupan ini merupakan bagian dari silih bergantinya waktu ke waktu yang selalu bergerak dinamis . Dinamisasi itu menjadikan pula pergantian generasi hingga sampai kepada kehidupan sa’at ini . Sekarang kita hidup di alam modern, dimana manusia telah menemukan puncak peradaban dalam hidupnya. Peradaban modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi telah membawa perubahan dalam kehidupan, termasuk perubahan terhadap gaya hidup dan aqal budi manusia (adab ). Manusia di dorong secara tehnologisasi untuk berubah ke statsiun waktu yang super cepat yang melampaui kinerja otak manusia. Manusia berhasil membangun peradaban baru dan telah meninggalkan peradaban lama. Dalam peradaban baru itu manusia dikendalikan oleh tehnologi sedangkan peradaban lama manusia mengendalikan tehnologi.

Peradaban, menurut Malek Bin Nabi ( 1905-1973 ), merupakan pergerakan masyarakat dan interaksi individu yang memiliki unsur-unsur fundamental yang tak dapat dipisahkan; yaitu unsur manusia, tanah dan waktu ( Ta’amulat : 1991 ). Peradaban adalah intisari sejarah yang dilewati oleh suatu masyarakat atau Negara, yang mana secara sadar akan menciptakan dinamika secara terus-menerus dalam masyarakat. Dinamika itu sekaligus memberikan ruang dan waktu kepada masyarakat atau Negara untuk lebih maju berusaha dan bekerja, dan memiliki cara tertentu dalam hidup serta melahirkan gerakan ilmiyah yang bergairah.

Sebagai makhluk imaginer manusia memiliki daya gerak yang bersifat dinamis. Dengan aqalnya manusia mampu melakukan perubahan, baik perubahan secara individual maupun social. Dengan Aqal Budi manusia mampu memiliki derajat muliya di hadapan Tuhannya dan terhormat di hadapan manusia. Kedua posisi ini merupakan persoalan mendasar dan penting dalam upaya mewujudkan manusia paripurna yang menjadi tujuan diturunkan Agama ke bumi. Hal ini akan semakin penting disaat manusia sedang berada dalam perkembangan puncak peradaban yang selalu mengalami perubahan. Syukur jika peradaban itu dicapai dengan dilandasi aqal budi yang luhur dengan semangat keimanan yang kuat dan utuh. Namun yang kita khawatirkan adalah perkembangan peradaban yang dilandasi dengan pengetahuan sekuler yang tidak memiliki dasar moral yang baik. Oleh sebab itu Aqal budi merupakan prasarat utama untuk mencapai kemajuan peradaban ditengah dinamisasi gelombang milenialisme sa’at ini. Sebagai yang kita sebutkan bahwa aqal budi merupakan prasarat utama kemajuan peradaban manusia. Untuk itu bagaimana seharusnya upaya manusia agar fungsi-fungsi kehidupan ini dapat berjalan memenuhi tuntutan peradaban baru di tengah gelombang milenialisme. Pertama; Kita harus mampu menempatkan aqal budi sebagai penggerak pengetahuan. Artinya manusia harus menguasai Ilmu pengetahuan dibawah bimbingan wahyu sebagai sumber utama. Kedua Aqal budi yang dalam bahasa Agama disebut dengan Adab harus menjadi cermin perilaku yang menyatu padu dalam keperibadian. Nah kedua factor tersebut merupakan kata kuci untuk menuju peradaban milenial yang akan di tuju. Artinya Ilmu dan adab tidak dapat dipisahkan apabila menuaisia menginginkan tumbuhnya peradaban baru di tengah-tengah dahsytnya gelombang milenialisme saat ini.

Dalam tradisi Islam Ilmu dan adab adalah dua hal yang saling terintegrasi, yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Ilmu tanpa adab ibarat pohon tanpa buah, adab tanpa ilmu ibarat orang berjalan tanpa penunjuk arah. Oleh karena itu Hasyim al-Asy”ari dalam karyanya : Adab al-Alim wa al-Mutallim, merumuskan kaedah penting akan urgensinya ilmu dan adab : “at-Tawhidu yujibul imana, faman la imana lahu la tauhida lahu; wal- imanu yujibu al-syari’ata, faman la syari’aya lahu , la imana lahu wala tauhida lahu, wa-al syari’ata yujibu al- adaba, faman la adaba lahu, la syari’ata lahu wala imana lahu wala tauhida lahu.” Tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barang siapa tidak beriman, ia tidak bertauhid, dan iman mewajibkan syari’at, maka barang siapa yang tidak ada syari’at ia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid, dan syari’at mewajibkan adanya adab , maka barang siapa yang tidak beradab ( pada hakekatnya ) tiada syari’at, tiada iman, dan tiada tauhid padanya. ( Abd, al-Amir Syam, 1984 ).

Begitu pentingnya ilmu dan adab dalam tradisi intelektual Islam, telah mendorong perhatian para ulama dan ilmuan Islam untuk melahirkan peradaban baru berbasis Ilmu pengetahuan, dan mengembangkan serta memperkokoh peradaban tersebut dalam masyarakat. Peradaban, yang terambil dari kata “adab” – “ ta’dib” secara etimologi merupakan bentuk masdar kata kerja ‘addaba’ yang berarti mendidik, melatih berdisiplin, memperbaiki, memngambil tindakan, beradab, sopan, berbudi baik, mengikuti jejak akhlaqnya,( al-Munawwir : 1973 ). Dengan dasar itu peradaban baru yang menjadi tujuan kebangkitan milenial adalah yang ber-adabisasi dan menjunjung tinggi Ilmu pengetahuan sebagi kunci kemajuan. Oleh sebab itu kita tidak mau terjebak dalam naturalisasi ilmu pengetahuan yang akan menyebabkan terjadinya proses asimilasi dan akulturasi peradaban yang pada akhirnya menimbulkan corak budaya dan peradaban yang terasimilasi secara penuh pada tuntutan milenialisme yang tak terkendali.

Peradaban milenial yang kita maksutkan adalah peradaban ilmu pengetahuan yang bebas nilai. Peradaban yang dikembangkan dengan perpaduan antara tehnologisasi dengan humanisasi semata tanpa mempertimbangkan nilai-nilai etik ketuhanan yang berfungsi membimbing aqal manusia. Peradaban Ilmu pengetahuan ini hanya berdasarkan asfek rasio semata , yang oleh Rene Descartes ( m ; 1650 ), bapak Filsafat modern , disebut dengan istilah Cagito ergo sum, ‘aku berfikir maka aku ada”. Di sisi lain peradaban milenial akan menyebabkan efek negatif terhadap perubahan Geo-Biology dalam berbagai bidang termasuk dalam bidang kebudayaan. Dan yang tak kalah mirisnya bahwa peradaban milenial akan menggiring manusia kepada dekadensi moral sebagaimana yang terjadi di Spanyol , lima abat setelah runtuhnya Granada Tahun 1442 M . ( Dr.al-Kattany ; 1992 ).

Untuk itu agar manusia tidak terjebak dalam peradaban milenial yang demikian, tidak ada jalan lain kita harus kembali me-recovery jati diri kita dengan nilai adab. Kita harus membebaskan diri dari perbudakan budaya yang oleh Ibnu Khaldum ( 1332-1406 M ) disebut dengan “taqlid al-maghlub li al-ghalib”, cenderung meniru bangsa lain yang dianggap menang. Dan kita harus lari dari kecenderungan pengaruh budaya lain, yang tidak di dasari dengan nilai-nilai adab , karena akan membahayakan bagi perkembangan generasi . Dalam kontek ini , Ali Syari’ati ( 1933-1977), dalam bukunya “ Al-Audatu ila ad-Dzat”, ( Kembali ke Jati Diri ) telah membahas panjang lebar pentingnya membebaskan diri dari belenggu kebudayaan lain . Beliau mengatakan bahwa para pemikir progresif telah salah faham dalam memahami musibah westernisasi sehingga akan menimpa elit terdidik dan membuat krisis kebangsaan dan kelumpuhan social. Untuk itu kita harus menata kembali , dan menempatkan kembali aqal budi ( adab ) , dan jati diri bangsa ini kepada posisi yang tepat untuk memperjuangkan kebangkitan baru peradaban milenial yang memiliki nilai-nilai adab yang tinggi. Dengan Ilmu dan tehnologi, manusia memiliki peradaban tinggi, dengan aqal budi manusia memiliki kemuliyaan yang sejadi.[]