PUASA MEMPERTEGUH MORAL DAN BUDI PEKERTI ( ADAB )
Hikmah Puasa

Diposting oleh Zaid, ST 28 Apr 2020, 10:13:51 WIB Opini
PUASA  MEMPERTEGUH MORAL  DAN BUDI PEKERTI ( ADAB )

Keterangan Gambar : Kepala Kemenag Lingga


Ibadah puasa di bulan ramadhan merupakan kewajiban bagi Orang beriman. Sebagaimana diperintahkan Allah swt, dalam QS. Al-Baqarah ayat 183, Yang artinya : “ Hai Orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kamu sekalian berpuasa sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang sebelum kamu semoga kamu menjadi orang yang bertaqwa. ( Qs : 2 : 183 ). Dalam ayat ini di jelaskan salah satu tujuan ibadah puasa adalah membentuk manusia yang bertaqwa. Ini adalah tujuan utama ibadah puasa yang sangat mendasar. Taqwa merupakan derajat dan prediket kemuliyaan disi Allah yang dalam kehidupan manusia tergambar dalam perilaku dalam bentuk akhlaq muliya atau moral. Seperti dimaklumi, akhlak adalah hal penting yang paling pokok dari agama. Ia ibarat buah dari pohon. Karena pohon tanpa buah adalah sia-sia belaka. Begitu juga dengan agama ini. Tanpa akhlaq dan budi pekerti ( Adab ) agama dan ibadah tidak bermakna dan tidak dirasakan manfaatnya dalam kehidupan. Karena itu dalam Islam, ibadah ( dimensi ritual ) bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Ini berarti kalau orang sudah melaksanakan ibadah, tidak berarti ia sudah selesai dan sudah mencapai tujuan agama.

Menurut Syekh Muhammad Ghazali ( 1983 ) , ibadah tidak terpisah dari akhlaq, dan bertujuan untuk menumbuhkan akhlaq terpuji ( Adab ).Bahkan ibadah dipandang sebagai sarana latihan yang perlu dilakukan secara berulang-ulang untuk melahirkan kekuatan moral / akhlaq dan spiritual. Itu sebabnya dalam Islam, seorang tidak boleh berhenti pada ritual belaka, tetapi masuk lebih dalam pada penguatan moral/ akhlaq dan spiritual, sehingga ibadah-ibadah utama yang dilakukan berdampak secara moral/akhlaq dan spiritual.

Menurut Prof, Fazlur Rahman ( 1984 ), tujuan utama Al-Quran adalah membangun masyarakat bermoral/ berakhlaq yang adil dan egaliter. Untuk tujuan ini, al-Quran menekankan tauhid dan melarang politaisme ( kemusyrikan ), karena yang terakhir ini dipandang sebagai penyakit yang dapat memecah kepribadian manusia. Al-Quran juga manyuruh manusia kepada kebaikan ( al-mar bi al-ma’ruf ) dan mencegah dari yang munkar ( al-nahy-u ‘an al-munkar ), menyuruh bersikap adil, berbuat baik kepada orang tua, dan melarang berbuat zalim dalam bentuk apapun dan kepada siapapu. Ini semua dimaksudkan agar masyarakat bermoral/akhlaq dapat dibangun dan diwujudkan dlam kenyataan.

Sejalan dengan semangat dasar al-Quran diatas, maka sesungguhnya ibadah puasa dan kewajiban Islam lainnya mengandung makna dan pendidikan akhlaq. Dalam pandangan Muhammad al-Ghazali, ibadah-ibadah itu dimaksudkan sebagai sarana pembentukan dan pengembangan akhlaq, merupakan sarana latihan yang diulang-ulang untuk membiasakan manusia dapat hidup dengan akhlaq yang terpuji dan agar ia terus hidup dengan memegang teguh akhlaq itu meskipun berbagai perubahan terjadi di setiap zamannya.

Ibadah puasa yang diwajibkan kepada orang yang beriman utamanya adalah untuk mencapai derajat Taqwa ( QS, 2 : 183 ) . Sebab itu Rasulullah saw, menyatakan ; “Tidak ada gunanya seseorang berpuasa, tidak makan dan tidak minum, kalau ia tidak bisa berhenti dari dusta dan melakukan kebohongan public” ( HR. Bukhari ). Pesan moral yang sesungguhnya yang ingin di kemukakan oleh Rasulullah Saw, adalah keluhuran budi pekerti ( akhlaqul Karimah ) . Ini berarti ibadah puasa haruslah membuahkan keluhuran budi dan adab yang terpuji.

Ditengah-tengan bangsa yang sedang mengalami degeradasi moral saat ini, rasanya kita sangat merindukan lahirnya generasi-generasi pelopor yang membangun kembali sendi-sendi moral di tengah masyarakat. Akibat negative globalisasi dapat meruntuhkan bangunan peradaban muliya yang telah ada. Globalisasi telah membangun paradigma baru yang bersentuhan dengan nilai-nilai adab yang sudah ada sehingga disadari atau tidak telah menimbulkan dampak dan pengaruh besar dalam masyarakat, tak hanya dalam bidang ekonomi, budaya dan politik tetapi juga dalam bidang agama terutama dalam perilaku umat beragama yang semakin hari semakin jauh dari nilai-nilai adab. Inilah tantangan besar yang harus diselesaikan oleh umat beragama hari ini.

Untuk itu agar ibadah puasa dapat berpengaruh secara moral dan social, maka ibadah puasa harus dilakukan tidak hanya secara formalitas sekedar menggugukan kewajiban, tetapi perlu dilakukan dengan sikap bathin yang kuat ( spiritualisasi syari’ah ). Menurut Imam al-Ghazali, seluruh amal ibadah termasuk ibadah puasa harus memenuhi dua kriteria sekaligus, yaitu kriteria syari’ah ( al-Quran dan al-Sunnah ) dan kriteria hakikat, yaitu Khudhur al-Qalb ma’a Allah / kesadaran ketuhanan. Kesadaran ketuhanan adalah pangkal kebaikan dan keluhuran budi pekerti atau adab. Kesadaran ketuhanan bermakna kesadaran pada seseorang bahwa Tuhan selalu menyertai hidupnya. Kesadaran inilah yang akan menghindarkan manusia dari dosa-dosa dan pelanggaran moral. Inilah makna sabda Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan bahwa “seseorang tidak akan mencuri, berzina atau melakukan tindakan kejahatan lainnya, sedang ia Mu’min ( menyadari kehadiran Tuhan ) ( HR. Muslim ). Kriteria yang kedua ini merupakan kriteria yang bersifat bathin ( spiritual ). Hal ini karena Islam pada hakikatnya adalah sikap bathin atau komitmen manusia untuk tunduk dan patuh kepada Allah swt, secara total lahir dan bathin. Tanpa sikap bathin ini, perilaku lahiriyah belumlah merupakan hal yang sejati dalam agama. Bahkan bisa dipastikan, tanpa sikap bathin yang kuat, pengalaman agama sehari-hari tidak mungkin memberikan dampak positif baik secara moral maupun sosial. Dengan demikian Ibadah puasa harus menjadi learning process yang akan memperkokoh nilai moral dan budi pekerti atau adab dalam kehidupan bermasyarakat.[]