TASAWUF KEPEMIMPINAN
Hikmah

Diposting oleh Zaid, ST 28 Des 2020, 13:52:23 WIB Opini
TASAWUF KEPEMIMPINAN

Membicarakan kepemimpinan di tengah umat manusia sedang mengalami perubahan social dan struktur budaya yang serba modern, apalagi dengan berkembangnya istilah mubassirat dan mujaddid ( pembaharuan ) dalam percaturan kehidupan antar bangsa , maka sangat menarik untuk di diskusikan dan kembangkan. Menurut Wahjosumidjo ( 1984 ), kepemimpinan merupakan kemampuan dalam diri seseorang dan mencakup sifat-sifat, seperti kepribadian, kemampuan, dan kesanggupan. Kepemimpinan tidak dapat dipisahkan dari gaya, perilaku, dan kedudukan pemimpin bersangkutan dan interaksinya dengan para pengikut serta situasi.

Karena kepemimpinan sangat erat kaitannya dengan potensi atau kemampuan dalam mengelola orang lain melalui instrument instrinsik yang ada dalam hati ( sifat batiniyah ), maka kepemimpinan harus memiliki daya bathin untuk bertindak membuat kebijakan. Kepemimpinan seperti ini kemudian yang kita sebut sebagai Tasawuf Kepemimpinan. Tasawuf kepemimpinan lebih merupakan gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada pendekatan fungsi-fungsi potensi ruhani dalam mengelola atau melaksanakan tugas kepemimpinan. Dalam hal ini yang paling tepat adalah fungsi hati atau qalbu. Salah satu fungsi qalbu adalah merasakan dan mengalami sesuatu . Artinya qalbu mampu mengungkap fungsi inderawi yang dirangkum dan dipantulkan kembali ke dunia luar dan proses ini menurut Toto Tasmara disebut sebagai menghayati ( Toto Tasmara : 2006 ). Dalam proses mengalami dan menghayati seorang pemimpin sadar akan dirinya dalam konteknya dengan dunia luar, sedang dalam proses menghayati dia sadar akan seluruh tanggung jawabnya.

Dalam tasawuf kepemimpinan, seorang pemimpin dituntut memiliki tiga rasa yang melekat dalam jiwa dan raganya yang tak dapat dipisahkan dalam memimpin. Pertama rasa inderawi atau badaniyah, yaitu rasa pahit, manis, dan asin, Kedua, rasa nafsiyah, yaitu rasa segar dan bugar dan yang Ketiga adalah rasa qalbiyah, yaitu cinta, benci, bahagia dan derita termasuk dalam rasa qalbiyah ini adalah rasa yang paling luhur, yaitu rasa ruhiyah yang mencakup kearifan dan kebenaran Ilahiyah atau yang kita kenal dengan ma’rifat sebagai inti tasawuf.

 

Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan ruhiyah dalam kepemimpinannya. Kekuatan Ruhiyah merupakan rasa dan potensi yang secara hakiki di tiupkan kedalam tubuh manusia sebagai ruh kebenaran yang selalu mengajak kepada kebenaran itu. Mutu kepemimpinan sangat ditentukan oleh hal ini yaitu sejauh mana soerang pemimpin mampu secara konsekuen mendengarkan suara hatinya ( Voice of Heart ). Kebenaran itu menjadi prinsif-prinsif yang diyakini sehingga seluruh keputusannya, kebijakannya dan keperibadiannya berangkat dari prinsif kebenaran suara hatinya yang paling dalam. Dari sinilah kualitas seorang pemimpin itu terwujud. Kualitas yang berasal dari kata “Quality” itu , memakai huruf “ Q “ yang sama dengan kata “Qalbu”. Sehingga kualitas atau mutu seorang pemipin harus berangkat dari hati nuraninya ( KH. Toto Tasmara : 2006 ).

Pemimpin yang memiliki suara hati atau qalbu di tandai dengan seberapa sifat utama yaitu ; Pertama : Memiliki rasa malu ( al- Haya’ ) kepada Allah swt. Menurut Fadhulullah Al-Jailani, malu adalah perubahan yang menyelubungi seseorang lantaran khawatir kepada sesuatu yang tercela, sesuatu yang sejatinya buruk. Seorang pemimpin sejatinya memiliki rasa malu kepada :

Pertama, malu kepada Allah. Jika seseorang pemimpin yang malu kepada Allah, ia akan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Rasulullah bersabda, “Malulah kalian kepada Allah dengan sungguh-sungguh rasa malu. Kemudian nabi ditanya, “Bagaimana caranya malu kepada Allah?” Dijawab, “Siapa yang menjaga kepala dan isinya, perut dan makanannya, meninggalkan kesenangan dunia, dan mengingat mati, maka dia sungguh telah memiliki rasa malu kepada Allah Swt.” Malu seperti inilah yang akan melahirkan buah keimanan dan ketakwaan.

Kedua, malu kepada manusia. Jika seseorang memiliki rasa malu kepada manusia, maka ia akan menjaga pandangan yang tidak halal untuk dilihat. Seorang ahli hikmah pernah ditanya tentang orang fasik. Beliau menjawab, “Yaitu orang yang tidak menjaga pandangannya, suka mengintip aurat tetangganya dari balik pintu rumahnya.” Orang yang punya rasa malu kepada manusia tidak akan berani melakukan dosa di hadapan orang lain. Jangankan dosa, melakukan kebiasaan jeleknya saja dia malu jika ada orang yang melihatnya. Termasuk bagian dari malu kepada manusia adalah mengutamakan orang yang lebih mulia darinya. Menghargai ulama dan orang saleh. Memuliakan orangtua dan gurunya. Merendahkan diri di hadapan mereka. Orang yang masih punya rasa malu kepada orang lain akan dihargai dan disegani. Masyarakat mau mendengarkan pendapat dan nasihatnya.

Ketiga, malu kepada diri sendiri. Ketika seorang pemimpin punya malu kepada dirinya sendiri, dia tidak akan melakukan perbuatan melanggar hokum dan dosa ketika sendirian. Ia malu jika ada orang yang melihat perbuatannya. Dalam kalimat hikmah dikatakan, “Siapa yang melakukan perbuatan ketika sendirian yang ia malu melakukannya saat dilihat orang, maka ia tidak berhak mendapatkan kemulian.” Kalimat hikmah yang lain mengatakan, “Hendaknya malu kepada diri sendiri lebih besar dibanding malu kepada orang lain.”

Begitulah seorang pemimpin , malu jika tanggung jawabnya tidak terlaksana dengan baik dan adil. Pemimpin yang memiliki rasa malu kepada Allah swt, memiliki responsibility yang tinggi. Tentu contoh terbaik dan toladan terbaik kita adalah Rasulullah saw. Beliau adalah pemimpin yang paling bertanggung jawab dan yang paling adil memikul amanah, karena Beliau SAW sendiri mengingatkan dalam bersabda-Nya “ Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungan jawab atas kepemimpinannya ( Hr. Muslim ).

Kedua ; Memiliki rasa takut ( khauf ) kepada Allah swt. Mereka adalah seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Mukminun ayat 57 : “Orang-orang yang takut dan cinta kepada Tuhannya”, ( QS. 23 : 57 ). Kata “khasyah” ( takut ) dalam ayat ini senada dengan khauf ( takut ) dalam istilah tasawuf. Secara terminologi khauf merupakan suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurnanya suatu pengabdian seorang hamba, dan menurut Qusyairiyah takut demikian mempunyai arti yang berhubungan dengan masa yang akan datang. Ibn Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa takut kepada Allah SWT itu hukumnya wajib. Karena takut kepada Allah itu dapat mengantarkan hamba untuk selalu beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan kekhusyukan. Siapa yang tidak takut kepada-Nya, berarti ia seorang pendosa, pelaku maksiat. Jika tidak memiliki rasa takut kepada Allah, maka perbuatan tercela seperti koruptor dan lain sebagainya semakin merajalela, semakin serakah, dan tidak lagi memiliki rasa malu dalam hidupnya.

Masih adakah pemimpin yang memilki rasa takut dan rasa malu hari ini , jawabannya tentu masih banyak, umpamanya saja Ahmadinejad Presiden ke enam Iran. Beliau adalah sosok pemimpin yang sederhana dan pekerja keras. Dia memperpanjang masa kerjanya dari pagi hingga magrib dan melanjutkan kerjanya di rumahnya hingga jam 12 malam. Kebijakan ini dilakukan agar memiliki waktu luang untuk menerima masyarakat yang ingin mengadu. Dia adalah sosok yang sederhana, ringan tangan, mengerjakan semua kewajibannya, dan tak sungkam merasakan sendiri beban penderitaan setiap masyarakatnya. Dia beberapa kali mengenakan pakaian pembersih jalan turun dari mobil bututnya membersihkan selokan menunjukkan solidaritasnya yang tinggi. Begitupun dengan kepemimpinan Umar Bin Khattab ra, ia memikul sendiri karung gandung yang untuk diserahkan kepada fakir miskin yang menderita kelaparan di masa kepemimpinannya. Masih banyak sederatan pemimpin yang memiliki hati nurani dan qalbu yang bercahaya dengan cahaya ma’rifat.

Dalam kepemimpinan yang berhati nurani, tidak adalagi ruangan untuk kafilah dendam dan kebencian karena seluruh kamar hatinya telah dipenuhi dengan cinta. Mereka memiliki jiwa besar dan keberanian untuk mema’afkan dan sekaligus melupakan perbuatan yang pernah dilakukan oleh orang lain. Artinya mereka tidak memiliki dendan politik apalagi dendam kejahatan. Seorang pengagum Nelson Mandela bercerita , bahwa setelah 27 tahun Nelson Mandela ditahan dan disendera akibat kejahatan politik, Dia bertanya , “Apakah Mandela yang kemudian menjadi Presiden Afrika Selatan dan begitu dikagumi dunia tidak merasa geram dan dendam terhadap musuh-musuh politiknya di masa lalu ? Apa Jawab Mandela,” Kalau aku biarkan dan ku pelihara terus kekesalan dan kebencianku kepada para penindas itu, mereka yang pernah menindas dan menyenderaku selama 27 tahun itu, akan terus menyandera diri dan jiwaku. Aku ingin menjadi orang yang merdeka. Karena itu aku buang semua kebencian itu sehingga aku benar-benar merasa sebagai orang bebas dan merdeka ( Komaruddin Hidayat : 2007 ).

Inilah diantara contoh pemimpin yang memiliki ma’rifat dalam kepemimpinannya. Mereka menampakkan keagungan akhlaq secara lebih monumental , sehingga sifat dan karakter Rabbaniyah seperti As-Siddiq, Amanah, Fathonah dan Tabligh menjadi cara dan gaya kepemimpinan yang dilakoninya. Ahirnya kita berharap, setelah Pemilihan Kepala Daerah serentak selesai kita mendapatkan pemimpin yang memiliki ma’rifat, dekat dengan Tuhannya, dekat dengan rakyatnya. Amin.[]