JEJAK-JEJAK IDHUL FITRI
Hikmah

Diposting oleh Zaid, ST 15 Mei 2021, 09:09:41 WIB Opini
JEJAK-JEJAK IDHUL FITRI

Hari Raya Idhul Fitri yang dilaksanakan setiap tahun merupakan momen istimewa dalam masyarakat Islam. Idhul Fitri memiliki nilai istimewa dan daya tersendiri untuk membangkitkan semangat, ghirah dan kekuatan social agama dalam menapaki kehidupan ini. Semangat Idhul Fitri itu menjadi langkah hidup baru yang penuh makna. Ibarat ulat yang menjadi kepompong yang indah dan menawan. Ia terbang dalam alam bebas hinggap pada bunga-bunga yang ia sukai.

Begitulah semestinya kehidupan orang-orang beriman, yang mana setelah melalui penempaan bathin selama bulan ramadhan , mereka memasuki babak baru kehidupan pasca Idhul Fitri. Kehidupan baru itu lebih berorientasi kepada locus bathiniyah dari pada zahiriyah. Mereka benar-benar merasakan getaran bathin yang sangat halus akan kesadaran diri dalam mengharungi lautan dunia semesta yang pana. Sebab itu Idhil Fitri yang mereka lalui meningggalkan jejak dan bekas yang sangat mendalam dalam jiwa mereka . Ciri dan sifat mereka adalah :

Pertama; Rindu untuk pulang. Setiap idhul fitri datang kerinduan untuk pulang alias mudik sulit dibendung. Mudik merupakan budaya lebaran yang penuh makna dalam hubungan kemanusiaan. Tahun ini ( 1442 H / 2021 M ) pemerintah membatasi budaya mudik karena pandemi covid-19 masih melanda tanah air kita.

Terdapat banyak makna yang terkandung dalam budaya mudik atau pulang. Dalam bahasa ingris, bila seseorang mau pulang ia berkata “ Go Home” bukan “Go House”. Karena “Home” mengandung makna psikologis, sedangkan “house” lebih merujuk kepada bangunan fisik, eksterior yang bersifat monument atau secara fisik hanya untuk tinggal sementara. Sedangkan home adalah tempat dimana hati kita berada ( H. Toto Tasmara : 2010 ).

Betapa pun kita menginap di sebuah istana atau hotel berbintang tujuh, mewah dan prestisius, dengan pelayanan prima yang khusus, tetap saja kita mengalami home sick , rindu untuk pulang. Kita merindukan pelukan cinta yang hanya diperoleh di rumah kita sendiri. Dan tidak ditemukan di rumah manapun.

 

Dalam makna yang lebih sufistik, pada hakikatnya jiwa manusia merindukan tempat asal. Tubuh yang tanpak secara fisik ( house, fana, sementara ) akan hancur dimakan usia, kemudian hancur menyatu dengan tanah. Sedangkan jiwa yang bersifat ruhani ( home, baqa, abadi ) merindukan kembali ke rumahnya yang asli. Itulah sebabnya makna Innalillahi wainna ilaihi rajiun adalah bentuk lain dari sebuah pernyataan kerinduan untuk kembali ke tempat asal. Akhirnya setiap makhluk yang bernafas menjumpai pintu-pintu maut untuk memulai perjalanan ruhaniyahnya, memasuki rumah keabadian.

Sesungguhnya seluruh yang tanpak dalam denyut kehidupan dunia, hakikatnya hanyalah tanah-tanah yang diolah. Betapapun indah, mewah, dan memikat, akhirnya akan berkarat dimakan usia dan pasti menuju kehancuran. Telah berlalu orang-orang sebelum kita. Mereka lebih menjulang namanya. Rumahnya mewah. Wajahnya memikat. Harta kekayannya bertumpuk. Tetapi, kini semuanya sunyi dalam kenangan. Masa lalu hanyalah impiyan. Hari esok adalah keabadian dan hari ini adalah kesadaran.

Kedua; Sadar untuk mencintai yang di bumi. Idhul Fitri hakikatnya mengajarkan cinta. Cinta yang tanpa batas yang terhunjam dalam lautan bathin yang tak bertepi. Ingatlah betapa Rasulullah saw telah menjelaskan, beliau bersabda,” Allah swt memiliki seratus rahmat, Sembilan puluh Sembilan ditahan-Nya dan yang satu disebarkannya di muka buni, sehingga seekor kijang mampu mengangkat untuk menyusui anak-anaknya.” Karena mereka yang dengan rasa haru penuh cinta, melindungi, dan menyayangi ciptaan-Nya, niscaya akan disayangi Allah swt. Rasulullah saw, bersabda; “ Barang siapa yang menyayangi yang di bumi, ia akan disayangi oleh yang di langit.”

Betapa agungnya Allah swt, yang bersifat Rahman. Siapapun yang peduli dengan keselamatan ekologi dan kemanusiaan, berbuat adil, menjauhi kezaliman, teguh dengan amanah dan dengan suka cita menebar kasih sayang serta melindungi makhluk ciptann-Nya, niscaya Allah akan menolongnya walaupun mereka itu kafir. Sebaliknya Allah swt, tidak akan menolong orang-orang berbuat zalim, khiyanat dan berbuat kerusakan di bumi, walaupun mereka mengaku Islam. Bukankan pentunjuk-Nya berlaku universal untuk semua manusia. Sebagaimana Fiman-Nya dalam Qs. Al-Qashas : 77 ) : Yang artinya :Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.( Qs. Al-Qashah : 77 ).

Mari kita kosongkan ruang bathin kita walau sejenak untuk merenungkan misi suci baginda Rasulullah saw, yang selalu menampakkan wajahnya yang rembulan menyejukkan, menerangi jiwa resah , menebar salam penuh marhamah. Dengan keteladanan akhlaknya, beliau menjadi cahaya penerang kehidupan. Pema’afnya lebih cepat dari panah yang melesat dari busurnya.

Jika kita lihat kehidupan dunia saat ini. Betapa masih saja ada diantara orang-orang yang bathinnya tidak diterangi cahaya ilmu, menjawab tantangan zaman dengan wajah penuh amarah. Memperalat agama untuk kepentingan ego hawa nafsu. Dan kemudian menampakkan dirinya sebagai tuhan-tuhan kecil seraya menepuk dada bahwa dirinyalah yang paling berhak menghakimi. Padahal Allah swt telah berfirman dalam Qs, Ali Imran : 159 : Yang artinya :Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”( Qs. Ali Imran : 159 ).

Sikap kasih sayang penuh pema’af adalah cahaya langit penghiyas iman yang muliya. Bahkan Allah swt mengetuk bathin kita yang paling dalam, “ dan janganlah kebenciannmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.”( Qs.Al-Maidah: 8 ). Lantas bahasa apakah gerangan yang paling membekas untuk merayu manusia agar menampakkan wajah rembulan seraya tangannya mengacungkan panji-panji kemanusiaan yang bersulamkan benang-benang cinta dan kasih sayang. Kecuali pesan idhul fitri dengan jejak-jejaknya yang tersimpul dalam kesucian bathin karena telah suci dari dosa. Tersimpul dalam hati yang suci, hati yang bening, yang bercahaya menerangi bumi, yang dirasakan oleh makhluk-Nya.

Demikian idhul Fitri mengantarkan kita dalam kehidupan penuh cinta, penuh kasih sebagai resep Ilahi Rabbi untuk merengkuh peradaban muliya yang penuh cinta dan kasih sayang. Akhirnya kita berharap semoga jejak-jejak Idhul Fitri yang terhunjam dalam sanubari kita menjadi energy suci yang menggerakkan kehidupan serta membawa kedamaian dan kasih sayang antar sesama manusia di bumi. Allahu ‘alam bissawab.[]