CORPORATE WORKAHOLIC PENDEKATAN STRATEGI PEMBANGUNAN AGAMA ERA DIGITAL
H.Muhammad Nasir,S.Ag,MH (Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lingga)

Diposting oleh Zaid, ST 19 Feb 2020, 09:15:27 WIB Opini
 CORPORATE WORKAHOLIC  PENDEKATAN  STRATEGI PEMBANGUNAN AGAMA  ERA DIGITAL

Keterangan Gambar : H.Muhammad Nasir,S.Ag,MH


(OPINI) Salah satu kekuatan agama yang membuatnya selalu eksis sepanjang zaman adalah memberikan makna dan harapan ketika seseorang dihadapkan derita dan misteri hidup yang sulit diterima nalar, sementara ilmu tidak mampu menjawabnya. Dalam relasi social , agama-agama memiliki peran integrative bagi umat seiman, sekaligus peran disintegrative bagi umat yang berbeda iman. Karena itu setiap agama cenderung memberikan andil dan solusi dalam setiap asfek kehidupan manusia sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan hidupnya. Rendahnya kualitas hidup manusia dapat dipastikan  adalah akibat rendahnya peran agama dalam menata hidup umat beragama itu sendiri. Sebab itu rendahnya kualitas agama berarti juga rendahnya kualitas hidup, hal ini tentu akan berdampak kepada kualitas manusia itu sendiri dalam kaitannya sebagai makhluk Tuhan.
          Dengan perkembangan tehnologi yang sangat pesat, telah menjadikan kehidupan beragama mengalami pergeseran makna dan nilai , dari makna yang bersifat sacral kepada makna yang bersifat profan. Kehidupan agama semakin hampa dan miskin  seakan akan hanya hidup dalam dua dimensi yaitu dimensi  alam maya dan dimensi alam nyata. Inilah barangkali proses digitalisasi kehidupan beragama sebagai akibat tehnologi digital yang kita saksikan hari ini. Menurut Prof.Dr. Komaruddin Hidayat, MA, kondisi itu apa yang disebut dengan Global Network Society ( GNS ) yaitu masyarakat jejaring di dunia maya yang difasilitasi oleh tehnologi internet, sehingga muncul istilah netizen, sebuah revolusi komunikasi yang berinplikasi pada munculnya revolusi kebudayaan yang belum pernah terjadi dalam sejarah kehidupan manusia. Hal inilah yang sedang terjadi dalam kehidupan beragama sa’at ini, sebuah revolusi nilai dan makna agama yang semakin menipis sebagai akibat dari budaya digitalistik masyarakat global. 

Menghadapi kenyataan demikian, sekurang-kurangnya untuk menghilangkan kekhawatiran kita terhadap pengaruh budaya digitalistik  dalam kehidupan beragama sebagaimana yang kita jelaskan diatas, sangat perlu untuk dilakukan pendekatan baru dalam mengembangkan strategi pembangunan agama dalam kompetisi masyarakat global sa’at ini. 

Secara prinsif pembangunan agama akan melibatkan beberapa unsur penting yaitu manusia sebagai sumber daya, badan organisasi atau lembaga, dan strategi yang diunakan untuk mengelelola prosedur. Ketiga unsur penting ini akan saling menguatkan apabila satu sama lain memiliki tujuan yang sama dalam proses pembangunan. Sebagus apapun kebijakan dan visi yang akan dikembangkan tentu saja akan mengalami kesulitan apabila dukungan unsur penting ini tidak ada. Walaupun demikian unsur-unsur penting tersebut utamanya sangat tergantung pada Sumber Daya Manusianya sebagai motor penggerak pembangunan agama. Banyak strategi yang sudah dikenbangkan atau dilaksanakan, dan bahkan tidak sedikit anggaran yang dikeluarkan untuk membiayai prosedur  dan langkah operasional pembangunan. Untuk memperkuat unsur-unsur penting tersebut dengan melibatkan seluruh ikhtiar yang ada maka diantara pendekatan yang dapat ditawarkan adalah Corporate Workaholic Strategic ( CWS ). 

Pada awalnya istilah ini dikenal dalan dunia perusahaan yaitu Corporate Workaholic. Ada dua istilah yang berkembang dalam dunia perusahaan modern saat ini yaitu Corporate Negaholic dan Corporate Workaholic. Kedua istilah ini saling berlawanan atau bertolak belakang satu sama lain. Corporate Negaholic merupakan penyakit yang menbahayakan sebagaimana virus dalam tubuh manusia. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Cherie Carter-Scott dengan istilah negaholisme untuk menggambarkan kondisi yang timbul secara sistematis dalam suatu perusahaan, organisasi, badan pengelola SDM, pendidikan dan sebagainya ( Dr.H.Sutrisno,M.Ag,  Dkk  : 2002 ). Menurut Cherie Carter-Scott negaholic adalah virus penyakit yang membahayakan. Ia bisa merusak bagian administrasi, akuntansi, human rsources. Dan penyakit ini dapat merusak top-leader, menager, ataupun karyawan. Dengan arti lain negaholic adalah orang-orang ketagihan atau orang-orang yang terus menerus bersikap negative. Mereka yang dihinggapi penyakit ini akan selalu menolak ide-ide baru, yang datang dari pihak manapun, selalu memberikan respon negative terhadap sesuatu yang dialaminya, mereka memiliki banyak alasan terhadap sesatu yang baru bahwa yang baru itu tak bisa dilaksanakan. Kata-kata idolanya adalah mustahil, tidak mungkin, sulit, percuma, tidak bisa, dan sederet kata negative lainnya. 

Penyakit inilah yang  berkembang dalam dunia organisasi, institusi ataupun lembaga agama kita , sehingga  dapat menghambat proses pembangunan agama dalam masyarakat. Untuk menghilangkan dan memberantas virus negaholic yang membahayakan tersebut maka pendekatan baru dalam strategi pembangunan agama perlu diupayakan. Pendekatan Corporate Workaholic Strategic yaitu suatu pendekatan yang mengubah kondisi, sikap dan pandangan negative yang telah menjadi budaya dan kecanduan dalam sikap pelaku pembangunan diubah menjadi sikap dan perilaku positif. Workaholic adalah lawan dari negaholic. Workaholic adalah anti virus dalam bentuk semangat dan kecanduan dalam melaksanakan kerja keras, berdedikasi tinggi untuk maju apaun rintangannya. Tantangan akan menjadi pendorong, Hambatan akan menjadi peluang .

Pelaku pembangunan yang memiliki workaholic adalah mereka yang senantiasa memiliki ide-ide dan inovasi baru dalam bekerja. Dalam kamus kehidupan mereka tidak ada yang tak bisa di dunia ini. Apakah ia sebagai karyawan, sebagai pemimpin ataupun sebagai menager selalu setiap sa’at melakukan perubahan menuju kesempurnaan. Lalu bagaimana strategi ini dapat dilakukan ? Pertama; Membangun motivasi untuk berprestasi. Dengan workaholic, badan organisasi, lembaga, dan institusi dapat eksis dan memiliki kemampuan untuk melakukan tugas-tugas pembangunan agama dan menyaigi arus informasi yang dapat merusak nilai dan kebenaran agama.  Apabila  keinginan untuk berprestasi tertanam dalam diri organisasi, badan atau lembaga ataupun orang yang  oleh David McLalend disebut dengan istilah the need for achievement. Kondisi ini akan membangun pondasi organisasi secara kelembagaan dan peribadi orang yang mengelola lembaga tersebut secara simultan dan professional. Keinginan ini timbul dari dalam diri seseorang atau organisasi tanpa paksaan. Kekuatan organisasi atau lembaga tidak teletak pada pada sturuktur tetapi pada orang atau SDM pemgelola organisasi atau lembaga itu. Kedua ; yang dapat dilakukan adalah; dengan mengembangkan prinsif To Be dan To Have ( Jamil Azzaini : 2002 ). To Be adalah keinginan untuk memiliki sesuatu yang lebih baik. Keinginan tersebut dikaitkan dengan proses untuk mengejar prestasi dengan memanfa’atkan posision yang ada atau tugas fungsi organisasi. Perbedaan To be dan To Have terletak pada titik tujuan yang hendak dicapai. Bila yang dikejar adalah keuntungan semata, fasilitas, pengakuan, dan pujian dari banyak orang, keinginan-keunginan itu merupakan To Have, tetapi kalau yang dikejar adalah kesempatan berprestasi yang lebih besar dengan mengerahkan posision yang dimiliki itu merupakan To Be. Jadikan To Be sebagai kendali untuk mengembangkan organisasi, institusi dan bahkan peribadi agar dapat menjadi. Semakin tinggi To Be, maka To Have akan semakin besar mengikuti keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan agama yang kita lakukan.

Langkah dan strategi demikian setidaknya akan mengembalikan dan menempatkan kembali nilai-nilai moral dan skral agama pada tempatnya. Sehingga orientasi nilai agama tidak saja berada pada tataran duniawi tetapi lebih pada tataran ukhrawi. Pada akhirnya nilai agama akan mengarahkan kehidupan manusia dari berorientasi duniawi / duniawi orientic kepada orientasi ukhrawi / ukhrawi orientic. Disini pentingnya pembangunan nilai, semangat dan spirit karena disitu pula letaknya makna kehidupan ini. Apabila kita telah menemukan makna itu , maka arti dan makna kehidupan akan dapat kita rasakan. Nilai-nilai inilah yang akan mengantarkan kita kepada tujuan hidup yang sebenarnya. Allahu’alam bissawab.[]